Thursday 11 October 2012

DAMPAK NEGATIF TEKNOLOGI, INFORMASI DAN KOMUNIKASI (TIK)


DAMPAK NEGATIF TEKNOLOGI, INFORMASI DAN KOMUNIKASI (TIK)

Teknologi sangat dibutuhkan oleh semua orang bahkan sampai hal terkecil apa pun. Perkembangan teknologi saat ini sangatlah cepat, hal ini dikarenakan ketidakpuasan manusia untuk memudahkan pekerjaan. Sehingga muncullah inovasi-inovasi  teknologi yang dibutuhkan manusia. Namun semakin berkembangnya teknologi tidak akan terlepas dari dampak negatif yang ditimbulkan.
a.       Dampak negatif terhadap anak-anak.
Pengenalan teknologi sejak dini dinilai sebagian orang tua sangatlah baik. Akan tetapi mereka tidak memikirkan dampak negatif yang akan ditimbulkan. Berikut beberapa dampak negatif teknologi terhadap anak-anak:
1.      Ketergantungan pada teknologi
Seringnya melakukan suatu kegiatan dibantu dengan suatu teknologi menyebabkan anak-anak merasa ketergantungan. Sehingga ketika tidak  menggunakan teknologi, mereka akan merasa kesulitan dalam melakukan kegiatan.
Contoh : seorang anak diberikan sebuah kalkulator oleh orangtuanya. Setiap Pr matematika ia selalu menggunakannya untuk membantu menyelesaikan tugasnya. Ketika ulangan  ia tidak diperbolehkan menggunakan kalkulator, sehingga ia tidak bisa mengerjakan soal yang diberikan.
2.      Rasa malas
Dampak lain selain ketergantungan adalah rasa malas. Jika dikaitkan dengan contoh diatas adalah malas berhitung. Sehinggga anak tersebut tidak dapat menghitung sendiri harus menggunakan kalkulator. Contoh lainnya adalah malas belajar, mayoritas anak-anak sangat senang menonton TV atau bermain video game dibandingkan belajar. Sehingga ketika akan belajar, mereka mementingkan menonton TV atau video game  terlebih dahulu. Sehingga waktu belajar sedikit atau bahkan malas untuk  belajar.
3.      Sikap dan kepribadian
Anak-anak yang sering menonton TV atau video game, maka sikapnya akan mencoba mengikuti apa yang ia sukai. Karena pada masa anak-anak merupakan tahap dimana ia akan meniru seperti apa yang ia lihat dan dengar. Sehingga sikapnya akan berubah seperti yang ia lihat dan hal ini berpengaruh pada kepribadiannya.
4.      Lupa waktu
Keitka seorang anak menyukai video game atau tayangan TV,  ia akan lebih bermain game atau melihat tayangan TV, bahkan terkadang ia tidak ingin diganggu. Sehingga ia lupa terhadap waktu.
5.      Pemborosan  dan kesehatan
Salah satu game yang sangat digemari anak-anak saat ini adalah secara online atau yang disebut dengan geme online. Kemajuan teknologi saat ini telah membuat para anak pecandu game rela mengorbankan uang jajannnya untuk bermain game online. Sehingga hal ini merupakan pemborosan. Bahkan dari bermain game online ini tidak hanya pemborosan, mereka lupa waktu, lupa mengisi perut yang berdampak pada kesehatan, malas belajar, ketergantungan dan berpengaruh juga pada sikap dan keppribadian.

b.      Dampak negatif terhadap  pendidikan
Teknologi saat ini sangat membantu dalam bidang pendidikan, diantraranya mudah mengakses informasi. Akan tetapi hal ini tidak terlepasdari dampak negatif yang ditimbulkan.
1.      Malas
Dampak negatif terhadap pendidikan diantaranya malas berusaha, hal ini dikarenakan para pelajar lebih menyukai hal yang instan dan tidak ingin susah atau berusaha. Contohnya dalam pembuatan tugas makalah, mereka lebih menyukai menyalin dari internet dibanding mencari di buku-buku.
Selanjutnya malas membaca dapat dikaitkan dari hal diatas, mereka lebih menyukai menyalin dari internet dibanding membaca dahulu di buku untuk mencari hal-hal yang akan diambil.
Selain itu, malas menghitung dalam hal ini dikarenakan mereka lebih menyukai menghityung yang praktis yaitu dengan kalkulator. Karena membantu mereka lebih mudah dalam proses penghitungan.
Dan terakhir malas berpikir disini dapat dikaitkan dengan poin-poin sebelumnya, semua karena kemudahan dalam mengakses melalui internet.
2.      Penyimpangan
Ketika seorang pelajar salah mendapatkan informasi, maka akan berdampak pada perilakunya dan sikapnya, bahkan sampai kepada peyimpangan.
3.      Ketergantungan
Poin ini telah dibahas sebelumnya. (a.1)
4.      Pemborosan
Poin ini telah dibahas sebelumnya. (a.5)
5.      Lupa waktu
Poin ini telah dibahas sebelumnya.(a.4)

c.       Dampak negatif terhadap moral masyarakat.
1.      Penyimpangan
Mudahnya mengakses informasi, maka akan mudah mendapatkan hal-hal yang bersifat negatif bagi kepentingan yang kurang baik. Sehingga merubah pola pikir mereka untuk melakukan tindak kejahatan sampai pada pelecehan.
2.      Kemerosotan moral
Pada poin ini telah disinggung dalam poin 1. Banyaknya teknologi yang memudahkan tindak kejahatan, maka angka kejahatan akan lebih tinggi lagi. Hal ini pun didukung dengan sulitnya mencari pekerjaan. Contohnya pencurian kendaraan bermotor. Selain itu dengan mudahnya mengakses situs-situs negatif, dapat membuat moral masyarakat merosot karena pemikirannya terganggu dengan apa yang diaksesnya. Contohnya terjadinya kasus-kasus pelecehan seksual bahkan sampai kepada pemerkosaan.
3.      Pemborosan
Dengan kekurang puasan masyarakat terhadap teknologi yang ada, maka akan muncul teknologi yang lebih memudahkan pekerjaan manusia. Sehingga ketika diluncurkan suatu teknologi yang lebih memudahkannya, ia akan berusaha untuk membelinya.



Wednesday 10 October 2012

NAHJUL BALAGHAH

Nahjul Balaghah adalah sebuah kitab susunan Sayid Syarif Radhi (Ulama terkemuka di bidang Sastra Arab dan Fiqih abad 4-H) yang berisi kumpulan khotbah, surat dan ucapan Ali bin Abi Thalib ra.

Khotbah-khotbah Ali bin Abi Thalib ra. dinilai dan dihormati sedemikian tingginya di dunia Islam, sehingga hanya dalam waktu seabad setelah wafatnya, khotbah-khotbah itu telah diajarkan dan dibacakan sebagai kata terakhir di dalam Filsafat Tauhid, sebagai ceramah-ceramah bagi pembangunan watak, sebagai sumber inspirasi yang luhur, sebagai khotbah-khotbah meyakinkan ke arah takwa, sebagai mercu penunjuk ke arah kebenaran dan keadilan, sebagai karya pujian yang menakjubkan tentang Nabi Muhammad (saw) dan Al-Quran al-Karim, sebagai pembicaraan yang meyakinkan tentang nilai-nilai spiritual Islam, sebagai diskusi-diskusi yang menakjubkan tentang sifat-sifat Tuhan, sebagai karya utama kesusastraan, dan sebagai model seni retorika dan keterampilan berbahasa.
Kitab Nahjul Balaghah memiliki beragam topik penting, meliputi problem-problem besar metafisika, teologi, fiqih, tafsir, hadits, profetologi, imamah, etika, filsafat, sosial, sejarah, politik, administrasi, hak dan kewajiban warga, sains, retorika, puisi, literatur, dll.

Beberapa nasehat indah Ali bin Abi Thalib ra. yang bisa dilihat di dalam kitab ini antara lain:

“Dalam masa kekacauan sosial, jadilah seperti unta remaja, yang tak berpunggung cukup kuat untuk ditunggangi dan tidak pula bersusu untuk diperah”

“Barangsiapa mengambil serakah sebagai kebiasaan, ia menurunkan harga dirinya sendiri; barangsiapa membeberkan kesukaran-kesukarannya, ia menyetujui penghinaan; dan barangsiapa memperkenankan lidahnya menguasai jiwanya, ia mengaibkan jiwanya.”

“Kekikiran adalah malu; sifat pengecut adalah cacat; kemiskinan menggagalkan lelaki cerdas membela kasusnya; orang melarat adalah orang asing di kotanya sendiri.”

“Ketidakmampuan adalah petaka; kesabaran adalah keberanian; zuhud adalah kekayaan; pengendalian diri adalah perisai (terhadap dosa); dan sahabat terbaik adalah penyerahan (kepada Allah).”

“Pengetahuan adalah harta yang patut dimuliakan; perilaku baik adalah busanan baru; dan pikiran adalah cermin yang jernih.”

Download di sini

KEUTAMAAN MEMBACA AL-QUR'AN


KEUTAMAAN MEMBACA AL-QURAN

Oleh: Ayatullah Jawadi Amuli
Penerjemah: Jawad Muammar



Orang yang membaca al-Quran akan mampu “melihat“ Allah Swt apabila ia telah mencapai rahasia bacaannya. Imam Ali as berkata: “Allah Swt menampakkan diri-Nya melalui kitab-Nya tanpa mereka mampu melihatnya.”[1] Allah Swt menampakkan diri-Nya melalui kitab-Nya tanpa terlihat. Imam as berkata: “Setiap hakikat terkandung dalam al-Quran, begitu pula kejadian-kejadian yang lampau dan yang akan datang. Al-Quran tidak menjawab ketika Anda bertanya kepadanya dan tidak menjawab ketika Anda mangajaknya berbicara, tetapi aku adalah orang yang berbicara dengan al-Quran, aku mengetahui rahasia-rahasianya dan akan menjelaskannya kepada Anda.”
Imam menjelaskan makna pembacaan al-Quran yang benar melalui ucapannya: “Allah Swt pemilik al-Quran ini telah menampakkan diri-Nya bagi hamba-hamba-Nya melalui kitab-Nya.”[2] Imam Shadiq as pun meriwayatkan makna yang sama dengan mengatakan: “Allah Swt ber-tajalli untuk hamba-hamba-Nya melalui ucapan-Nya, tetapi mereka tidak melihat-Nya.”
Imam Shadiq as senantiasa mengulang-ulangi sebagian ayat al-Quran: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”(al-Fatihah: 5) Atau ayat: “... yang menguasai hari pembalasan.”(al-Fatihah: 4) Dan Imam berkata:
 Sepertinya aku mendengar Allah berbicara.”
Ungkapan yang paling baik dan indah dalam pemikiran Islam adalah tajalla. Al-Quran dan hadis telah mengajarkan kepada kita makna dari istilah tersebut. Ketika Allah Swt ingin menurunkan hakikat keberadaan dari alam gaib ke alam ini, Allah berfirman: “Tajalla.” Kata tajalla berbeda dengan tajaafa. Diturunkannya al-Quran di bulan mulia ini dikatakan ibarat air hujan yang turun dari langit. Hujan yang turun secara tajaafa berarti hujan yang turun di satu tempat. Ia tidak turun di tempat lain. Ketika sesuatu berada di atas, maka ia tidak berada di bawah. Tatkala turun ke bumi, ia tidak berada di langit.
Tetapi sewaktu Allah berfirman: “Kami turunkan al-Quran di bulan Ramadhan,” apakah itu sama dengan turunnya hujan? Tatkala al-Quran bersama Kami, maka pada saat bersamaan, ia tidak bersama kalian. Dan sewaktu Kami menurunkannya kepada kalian, ia tidak lagi bersama Kami. Apakah turunnya al-Quran seperti itu? Demikian pula arti: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan.”(al- Qadar: 1) Dan apakah makna dari ayat: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran...,”(al-Baqarah: 185), seperti turunnya hujan?
Tidak, tidak demikian halnya. Al-Quran turun di bulan ini secara bertahap, secara berangsur-angsur atau tidak sekaligus, artinya bahwa hakikat yang ada pada Allah ini tetap ada pada Allah. Tetapi turun dalam bentuk kalam agar manusia dapat melafalkan, mendengarkan, menuliskan, dan membacanya. Al-Quran diturunkan secara tajalla dan bukan tajaafa.
Jika seorang mujtahid atau filosof ingin menjelaskan dan mengajarkan kepada orang lain mengenai satu hal yang bersifat logis atau suatu riwayat yang merupakan bagian dari pengetahuan Islam, yang benar-benar dipahaminya, maka itu dapat dikatakan bahwa: “Ia menurunkan untuk orang lain atau secara berangsur-angsur menurunkannya kepada mereka.” Proses penurunannya berlangsung secara berangsur-angsur dalam bentuk buku, tulisan, atau gelombang radio maupun gambar. Pemikiran atau makna ini tidak serta merta menjadikan pikirannya kosong melompong.
Demikian pula halnya dengan seorang mujtahid yang memberikan pelajaran-pelajaran fiqh dalam bentuk yang sederhana, sehingga dapat dipahami para mukalaf. Dalam proses pemberian pelajaran tersebut, keberadaan ruhnya yang tinggi tidak lantas menjadi kosong dari potensi ijtihad. Sebabnya, yang ia turunkan bukanlah potensi ijtihadnya, melainkan hakikat-hakikat yang dipahami manusia, yang diberikan secara berangsur-angsur. Inilah makna dari tanzil. Turunnya al-Quran dan hadis-hadis Ahlul Bait terjadi dalam bentuk seperti ini. Proses penurunannya bersifat tajalla.
Shahifah al-Sajjadiyah milik Imam Sajjad as yang merupakan “Zabur”-nya Ahlul Bait, harus diletakkan di samping al-Quran dan Nahj al-Balaghah.
Imam as-Sajjad as memiliki doa yang bernama Khatam al-Quran, yang umumnya dibaca orang seusai menghatamkan al-Quran. Sebuah doa yang menjelaskan tentang keagungan al-Quran dan pertemuan dengan berbagai berkah dan kebaikan sampai pada kalimat “malaikat kematian ber-tajalla karena ia menghilangkan hijab-hijab alam gaib dan mencampakkannya ke dalam lingkaran mimpi tentang kematian yang menakutkan.”[3] Malaikat kematian, Izrail, ber-tajalla di hadapan manusia dari balik alam gaib untuk mengambil ruh mereka. Ya Allah, pada hari itu, rahmatilah kami. Turunnya malaikat Izrail adalah tajalla Allah Swt.
Tajalla semacam ini terdapat dalam al-Quran (juga dalam Nahjul Balaghah), khususnya ketika berbicara tentang nabi Musa as: “Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu.”(al-A’raf: 143) Dalam Nahjul Balaghah disebutkan[4] khusus tentang keagungan al-Quran. Imam Shadiq as juga meriwayatkan tentang keberadaan tempat khusus yang menjadi miliknya. Begitu pula dengan Imam Zainal Abidin yangmeriwayatkan khusus tentang Izrail, yang memiliki makna serta perumpamaan yang paling indah, yang membuat manusia tidak takut terhadap keberadaan alam gaib.
Jika ingin mengetahui apakah kita telah mencapai rahasia membaca al-Quran atau belum, harus diperhatikan apakah kita telah “menziarahi“ Allah melalui al-Quran dengan ruh kita? Apakah kita telah “melihat“ dengan mata hati, “pemilik“ kalimat-kalimat tersebut? Jika kita telah “melihat“-Nya, itu berarti kita telah sampai pada rahasia pembacaan al-Quran. Jika tidak, mungkin kita hanya mencapai tingkat hukum dan adab dalam membaca al-Quran, dan belum mencapai rahasianya.
Banyak sekali bab dalam kitab-kitab Imamiyah yang membahas tentang bacaan dan keagungan al-Quran; Seperti al-Kafi karya Syekh al-Kulaini ―semoga Allah meridhainya. Di dalamnya terdapat bab yang berjudul Keutamaan al-Quran, serta bab lain yang berjudul Keutamaan Membawa al-Quran. Orang yang membawa al-Quran akan dibangkitkan bersama para malaikat. Mereka tidak seperti kalangan Yahudi yang membawa kitab Taurat. Lagi pula, mereka bukan membawa Taurat. Berkenaan dengan orang Yahudi, Allah Swt secara khusus berfirman: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.”(al-Jumuah: 5)
Sebagaimana yang dikatakan dalam surat tersebut, kita menyaksikan betapa berbahayanya orang-orang Yahudi. Agar bahaya semacam itu tidak sampai menyebar ke tengah-tengah masyarakat Islam, Allah Swt berfirman dalam ayat: janganlah kalian memperlakukan al-Quran sebagaimana perlakuan orang-orang Yahudi terhadap Taurat. Mereka (orang-orang Yahudi, ―peny.) seolah-olah membawa Taurat, padahal sebenarnya tidak. Kami telah menganugerahkan kitab Taurat, namun mereka enggan mengambilnya (mcngamalkannya, ―peny.).
Orang yang membawa al-Quran memiliki keutamaan dikarenakan ia mengetahui maknanya dan mengerjakan hukum serta adab-adabnya, yang keseluruhannya dapat menghantarkannya pada rahasia al-Quran. Orang yang membawa al-Quran harus memiliki karakteristik sebagaimana yang termaktub dalam ucapan Imam Shadiq as: “Orang yang hafal al-Quran dan mengamalkannya akan dibangkitkan bersama para malaikat.”[5] Orang yang memahami dan mengamalkan al-Quran akan dibangkitkan bersama para malaikat dan orang-orang yang mulia.
Kemuliaan yang disebutkan al-Quran tersebut sekaligus menunjukkan bahwa pada hari kiamat nanti, aspek batin al-Quran (yang dicapai seseorang yang telah menghafal dan mengamalkannya, ―peny.) akan menjadi jembatan yang menghubungkan barisan orang-orang mukmin, syuhada, dan para shalihin. Pada hari kiamat kelak, tcrdapat banyak sekali barisan yang terdiri dari orang-orang bertakwa, para shalihin, para Syuhada, ulama, dan sebagainya. Orang yang bercahaya akan melewati barisan-barisan tersebut, dan berkata kepada mereka: “Kami memahami ini (al-Quran, ―peny.) dengan sebaik-baiknya, ia bersama kami.”[6]
Dari Imam Shadiq as, Rasulullah saww bersabda: “Pemegang al-Quran adalah orang-orang yang mengetahui penghuni surga.”[7] Raut wajah dari orang yang memegang al-Quran akan jelas terlihat oleh seluruh penghuni surga. Orang yang menjumpai kesulitan dalam mempelajari al-Quran, tetapi mati menanggungnya, akan memperoleh pahala yang berlipat ganda. Adapun orang yang menghafal al-Quran dan mempelajari hukum-hukumnya tanpa merasakan keletihan dan kesulitan, hanya akan mendapatkan satu pahala. Karena itu, Imam Shadiq as berkata: “Orang yang mempelajari al-Quran dan menghafalnya dengan kesulitan akan mendapatkan dua pahala.”[8]
Diriwayatkan dari Imam Shadiq as: “Seyogianyalah bagi seorang muslim mempelajari al-Quran sebelum ia menemui ajalnya, atau ia mati ketika sedang mempelajari al-Quran.”[9] Tidak pantas bagi seorang mukmin yang menjumpai kematiannyadalam keadaan tidak memahami al-Quran. Sebabnya, ketika wafat, manusia akan berbicara dalam lisan al-Quran dan pembacaan talkin terhadap mayitnya akan menggunakan bahasa Arab. Aspek bathin dari amal dan upaya mempelajari al-Quran dari seorang Muslim yang wafat, akan muncul dan berbicara dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa penghuni surga.
Seseorang boleh jadi bertanya, bagaimana mungkin nanti di dalam surga, seseorang berbicara dalam bahasa Arab, sementara itu bukan bahasa ibunya? Itu disebabkan bahasa penghuni surga akan sesuai dengan akidah yang dianutnya, dan lisan serta bentuk manusia akan nampak selaras dengan keadaan hatinya. Jika tidak, bagaimana mungkin sebagian manusia akan menjelma dalam bentuk binatang sementara sebagian lainnya dalam bentuk manusia? Sebagian manusia akan dibangkitkan dengan wajah yang hitam legam, sementara sebagian lainnya dengan wajah putih bercahaya?
Aspek bathinlah yang akan menyingkap bentuk dan bahasa ini, bukan aspek dhahir (lahiriah)nya. Akidahlah yang akan mengajarkan lisan kita untuk berbicara dalam bahasa Arab pada hari kiamat kelak. Di surga, setiap orang akan berbicara dalam bahasa Arab, di mana nabi Daud akan bertindak sebagai penceramah bagi seluruh penghuni di situ. Amirul Mukminin Ali as dalam kitab Nahjul Balaghah berkata: “Saudaraku, nabi Daud adalah orang yang akan berbicara dalam bentuk ceramah.”[10] Kualitas akidahlah yang akan menentukan seseorang ketika wafat, juga setelahnya. Orang yang meninggalkan dunia fana ini, dengan memeluk akidah Islam dan al-Quran, akan berbicara dalam, sekaligus memahami, bahasa Arab.
Amat disayangkan apabila seseorang menemui ajalnya sementara dirinya tidak mengerti bahasa Arab. Setiap orang (yang tidak mengerti, ―peny.) harus mempelajari bahasa Arab. Dan jihad yang dilakukan orang bodoh (tidak mengetahui) merupakan bagian dari jihad akbar. Sebagaimana orang yang berperang, orang yang berjihad menghadapi kebodohan dan seluruh kejelekan akhlak akan memiliki tiga perkara. Dalam kancah peperangan, resiko yang harus ditanggung, kalau bukan kerugian ―yang tentunya lebih besar dari kekalahan― maka seseorang akan memperoleh kemenangan, atau malah kematian. Tak ada pilihan lain di luar semua itu.
Bila seseorang takluk di bawah keinginan syahwatnya, maka ia akan terpenjara oleh hawa nafsu dan setan. Orang yang berkata: “Aku akan melakukan dan mengatakan apa yang aku sukai,“ pada dasarnya adalah orang yang telah mengalami kekalahan telak di medan perang dari musuh yang bersemayam dalam dirinya sendiri. Kekalahan yang diderita berbentuk kejatuhan dirinya dalam perangkap kekufuran.
Apabila seseorang senantiasa berperang melawan keinginan dirinya, serta berusaha sekuat tenaga untuk tidak jatuh ke dalam perangkap perasaannya yang kerap mengajaknya untuk berbuat dosa, kemudian wafat dalam keadaan seperti ini, maka ia akan menjadi seorang syuhada yang memenangkan pcrtarungan melawan musuh yang ada dalam diri (jiwa)nya. Jika seseorang mengikuti perasaan jiwa atau keinginan akalnya, tentu tak akan ada sesuatu pun dalam dirinya yang bisa menyakiti atau menyiksanya. Orang seperti ini telah memenangkan jihad akbarnya.
Rasul saww mengisyaratkan dengan sabdanya: “Tak seorang pun dari kalian kecuali diikuti oleh setan.” Sahabat-sahabat bertanya: “Apakah Anda juga, ya Rasulullah?” Rasul saww menjawab: “Ya, tetapi Allah menjagaku darinya sehingga aku selamat dari godaan setan.”[11]
Apabila kita ingin mengetahui apakah diri kita telah keluar sebagai pemenang atau justru menjadi pecundang dalam sebuah peperangan, ditentukan oleh apakah kita telah menyerah kalah terhadap dosa-dosa kita ataukah tidak. Tak ada yang lebih hina dan lebih buruk dari dosa. Karenanya, Imam suci berkata: “Manusia harus memerangi kebodohannya, mempelajari Al-Quran, dan sungguh-sungguh belajar tentang bagaimana menghilangkan kebodohan.” Apabila seseorang menemui ajalnya dalam keadaan belajar, ia akan digolongkan sebagai orang yang mati syahid dalam peperangan.
Banyak riwayat menyebutkan: Jika orang yang sakit kemudian mati di peraduannya, sementara dirinya yakin terhadap Islam, ia akan digolongkan sebagai orang yang mati syahid. Sebab, ia tidak menyerahkan dirinya dihadapan hawa nafsu. Berkenaan dengan itu, Nabi bersabda: “Seyogianya seorang mukmin tidak wafat sampai dirinya telah atau sedang mempelajari al-Quran.”[12] Dengan demikian, seseorang harus terus menerus memerangi kebodohan sampai dirinya memperoleh kemenangan, atau kalaupun ajal keburu menjemputnya, minimal ia tidak sampai jatuh sebagai tawanan kebodohannya sendiri.
Apabila seseorang mempelajari al-Quran, kemudian melupakannya disebabkan kurangnya perhatian terhadap pelajaran yang dikandangnya, kemungkinan besar ia akan mendapat azab yang sangat menyakitkan. Banyak riwayat yang menyebutkan tentang hal tersebut.
Imam Shadiq as berkata: “Al-Quran merupakan amanat Allah untuk ciptaan-Nya, maka sepantasnyalah bagi seorang muslim untuk melihat amanat yang diberikan kepadanya dan membacanya 50 ayat dalam satu hari.”[13] Al-Quran adalah amanat Allah untuk manusia. Karenanya, sudah sepantasnyalah bagi manusia untuk melihat amanat ini siang dan malam, serta membacakan 50 ayat darinya. Imam Shadiq juga mangatakan: “Melihat al-Quran atau kalimat-kalimat Allah merupakan sebuah ibadah.”[14] Tidak seperti kitab-kitab lain, tak ada satupun yang bisa menyerupai kitab mulia tersebut. Kedati tidak mengetahui artinya, seseorang yang membacanya akan tetap mendapat pahala membaca. Itu disebabkan al-Quran merupakan kitab Allah. Tak seorangpun yang dapat berbicara seperti kitab ini.
Apabila membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan isi Nahjul Balaghah yang terkenal, kita akan mendapatkan bahwasannya ayat-ayat al-Quran memiliki cahaya yang khusus. Kita tak mungkin menyetarakan kalimat-kalimat Imam dengan ayat-ayat Al-Quran. Ceramah-ceramah Nabi yang kita baca akan bercahaya apabila di tengah-tengahnya terselip ayat-ayat al-Quran. Ayat-ayat tersebut berbeda dengan sabda Rasul saww.
Al-Quran adalah tali Ilahi, sebagaimana firman Allah Swt: “...Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah.” (al-Imran: 103) Berpeganglah kamu semua kepada tali Allah yang merupakan kalam dan agama-Nya, dikarenakan ia menghubungkan kalian dengan atap kehidupan yang abadi. Jangan hanya diam di dasar lubang, namun berpeganglah dengan tali ini, dan membumbunglah ke atas, sebab sebagian dari tali yang menjulur ini berada di tangan manusia, sedangkan sebagian lainnya di “tangan“ Allah Swt. Setiap orang yang memegang sebagian tali Allah dan membahas ayat-ayat al-Quran akan berjumpa dengan Allah Swt.
Rahasia membaca al-Quran tercapai tatkala seseorang menduduki maqam di mana dirinya mampu melihat di tangan siapa bagian ujung dari tali yang terjulur dari tangannya. Dalam kondisi demikian, ia telah mencapai rahasia ibadah dan al-Quran. Sebaliknya, orang yang membaca al-Quran namun tidak mengetahui di tangan siapa bagian ujung tali itu digenggam, belum mencapai rahasia al-Quran.
Karena itu, para imam berkata: “Manusia wajib membaca al-Quran minimal 50 ayat dalam satu hari, agar ia tetap berhubungan dengan amanat Allah Swt. Dan untuk menjelaskan bahwa al-Quran adalah tali yang tidak putus, sebagian ada di tangan Allah dan sebahagian lagi ada di tangan manusia, setiap kali manusia melihat makna-makna al-Quran dan tafsimya maka pasti ada hal yang bisa dibahas dan diteliti.”
Imam Sajjad as berkata: “Ayat-ayat al-Quran merupakan khazanah. Ketika setiap khazanah disingkapkan, sepantasnyalah Anda melihat apa yang ada di dalamnya.”[15] Ayat al-Quran merupakan khazanah Ilahi yang tak akan pernah sirna. Setiap kali usai membaca satu ayat, sepantasnya Anda menjenguk ke dalam khazanah tersebut untuk menyaksikan apa yang ada di dalamnya. Tidak benar kalau dikatakan bahwa isi ayat-ayat tersebut hanya pengulangan semata, “...dikarenakan al-Quran bergerak laksana berputarnya matahari dan bulan.”[16] Sebagaimana keduanya menerangi kehidupan manusia pada waktu siang dan malam hari, demikian pula halnya dengan al-Quran. Ia menerangi jalan manusia, yang dipenuhi kesengsaraan serta cobaan-cobaan siang dan malam, menuju kebahagiaan. Orang yang berjalan di bawah terpaan cahayanya, tak akan menjumpai kesulitan dalam menjalankan berbagai amanat kehidupan.
Perlu dicatat, pemahaman para ahli tafsir terhadap ayat-ayat al-Quran berbeda-beda. Contohnya, sejumlah ahli tafsir mengatakan bahwa mudhof (disandarkan) dalam sebagian kalimat harus dibuang. Umpama dalam peristiwa yang berkenaan dengan saudara-saudara Nabi Yusuf. Ketika mereka mengajak Nabi Yusuf pergi namun tidak membawanya pulang kembali, ayahnya, nabi Ya’qub mempertanyakannya: “Apa yang kalian perbuat terhadap Yusuf.” Mereka pun menjawab: “...Dan tanyalah kepada (penduduk) negeri.”(Yusuf: 82) Sebahagian mufassir berpendapat bahwa maksud darinya adalah “Tanyalah kepada penduduk.” Alasan mereka, mudhofnya telah dibuang.
Sementara tafsir lain menyebutkan “Dan tanyalah (penduduk) negeri.” Maksudnya, tanyalah kepada negeri itu kalau memang ia (negeri tersebut, ―peny.) bisa berbicara dengan lisan dan Anda sendiri mengerti ucapannya. Dan pintu-pintu dan dinding-dinding negeri tentu akan menjawab pertanyaan anda. Tetapi pada kenyataannya, Anda tidak bisa bertanya kepada mereka. Dalam hal ini, keberadaan mudhof tidak di hilangkan. Bukankah pintu-pintu dan dinding-dinding bisa merasakan sesuatu? Bukankah ia akan bersaksi bagi kebaikan kita jika kita termasuk orang-orang yang baik, dan bersaksi jika kita termasuk orang-orang yang zalim? Bukankah bumi akan bersaksi bagi penghuninya?
Di sini jelas bahwa segala sesuatu akan memahami sesuatu. Bukankah Masjid akan memberikan syafaat dan mengeluh terhadap yang orang shalat di dalamnya? Terutama berkenaan dengan Hajar Aswad. Sebagian orang bersikeras dengan keraguannya tentang mengapa kita menerima hajar aswad atau menciumnya? Dalam pandangan orang tersebut, ia tak lebih dari sebongkah batu yang tidak dapat mendatangkan bahaya dan tidak memberikan syafaat, tak ubahnya batu-batu yang lain. Dengan yakin, orang tersebut mengatakan bahwa semua itu merupakan perbuatan bid’ah. Padahal para imam tidak menentang perbuatan yang dikatakan bid’ah tersebut (mencium Hajar Aswad, ―peny.). Dengan demikian, orang yang mengatakan bid’ah itu disebut sebagai pendusta.
Pada hari kiamat kelak, Hajar Aswad akan bersaksi dan mengeluh.
Apabila ia memang tidak mendatangkan bahaya dan tidak memberikan manfaat, lantas mengapa ia mesti bersaksi? Ia merupakan kekuatan Allah Swt di muka bumi. Dengan kata lain, ia merupakan tajalla (kekuatan) Allah Swt, bukan tajafi-Nya.[17]
Mengingat itu semua, para ulama irfan memiliki perasaan malu untuk berbuat dosa. Mereka berkata: “Segala sesuatu yang ada di jagat alam memiliki mata yang melihat apa yang kita lakukan ―kita dilihat― maka bagaimana kita bisa melakukan maksiat?” Inilah pendapat mereka tentang al-Quran. Ayat-ayat Al-Quran merupakan khazanah Ilahi yang tidak pernah kering hanya dengan satu tafsiran. Tatkala makna dari salah satu ayat al-Quran dipaparkan, pada saat yang sama, salah satu pintu khazanah Ilahi telah terbuka. Namun, bagaimanapun kalian berusaha mengurasnya, khazanah tersebut tak akan pernah kering.
Jika seseorang telah membaca al-Quran dengan baik, dan mencapai makna batinnya, maka rumah tinggalnya akan benderang laksana bintang- bintang. Rumah yang di dalamnya acapkali dibacakan al-Quran adalah rumah yang diselimuti bintang yang bercahaya benderang.[18] Malaikat akan melihatnya sebagaimana penduduk bumi melihat bintang-bintang yang bercahaya. Malaikat Izrail akan mengunjungi rumah tersebut sebanyak lima kali dalam sehari, yakni dalam waktu-waktu pelaksanaan shalat[19], demi mengetahui apa yang sesungguhnya dikerjakan sang penghuninya pada waktu-waktu tersebut.
Nabi saww bersabda: “Terangilah rumah kalian dengan bacaan al-Quran dan janganlah kalian jadikan rumah seperti kuburan, sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani yang sembahyang di Sinagoge dan Gereja dan melakukan pertukaran serta mengabaikan rumah-rumah mereka.”[20]
Keberadaan rumah dan kuburan tentunya amat berbeda. Namun, rumah yang dihuni sekelompok orang yang hidup bersama, yang tidak memiliki pengaruh keilmuan serta tidak berkhidmat untuk agama Islam dan kaum muslimin, pada hakikatnya adalah kuburan, dan penghuninya terdiri dari orang-orang yang telah mati.
Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Jadikanlah rumah kalian sebagai tempat yang menerangi kehidupan masyarakat. Janganlah kalian seperti orang Yahudi dan Nasrani yang tidak menyembah Allah di dalam rumah-rumah mereka sendiri, kecuali di Sinagoge dan Gereja pada waktu-waktu tertentu. Ibadah memang harus dilakukan di masjid, namun ibadah yang bersifat khusus dapat dilaksanakan di dalam rumah. 
Para imam berkata: “Jagalah tempat-tempat agama, masjid-masjid,mendapatkan pertolongan Allah.”
Imam Ali as berkata: “Orang yang keluar dari kelompok masyarakat akan menjadi santapan setan, sebagaimana kambing yang keluar dari kelompoknya akan menjadi santapan serigala.”[21] Begitu pula manusia yang keluar dari masyarakat dan tidak patuh terhadap tanggungjawab, shalat Jumat, dan shalat berjamaah, akan menjadi santapan setan. Orang yang meninggalkan kehidupan masyarakat dan hidup menyendiri tak ubahnya seekor kambing yang meninggalkan kelompoknya.
Seorang buta datang kepada Imam Ali as dan berkata: “Kadang- kadang ada seorang yang menuntunku ke masjid dan kadang-kadang tak ada yang menuntunku, maka apa yang harus saya lakukan?” Imam as menjawab: “Ambillah seutas tali dan ikatkanlah tali itu antara masjid dan tempat Anda bekerja atau rumahmu. Jika tidak ada orang yang menuntunmu, maka tali itulah yang akan menuntunmu ke arah masjid.”[22] Imam mewasiatkan kepada orang buta tersebut untuk memanfaatkan segenap sarana yang dapat menghantarkannya ke masjid.
Mengisolasi diri dari umat Islam dan kaum muslimin merupakan sikap dan tindakan yang sangat berbahaya. Mengikuti shalat berjamaah merupakan sebuah berkah. Orang yang memiliki hubungan dengan tempat ibadah sesungguhnya telah mcmbawa “masjid” ke dalam rumahnya. Bagaimana mungkin seorang Muslim membiarkan dirinya sepanjang siang dan malam tanpa membaca al-Quran di dalam rumahnya? Al-Quran memberikan pengaruh yang sangat kuat kepada orang yang membacanya, sehingga orang tersebut akan mengerjakan perintah-perintah-Nya.
Imam suci berkata: “Terangilah rumah-rumah kalian dengan membaca al-Quran.” Seperti apakah rumah tersebut? Sesuai dengan pernyataan al-Quran, rumah yang sejahtera adalah rumah yang menjadikan hati kalian bercahaya. Terangilah hati kalian dengan ayat-ayat al-Quran dan berusahalah untuk mengosongkan hati kalian dari apapun kecuali Allah Swt. Sebab, setiap nikmat yang diperoleh manusia bersumber dari keberkahan al-Quran. Orang yang membaca al-Quran tidak mungkin bersikap sombong. Dan rumah yang acap dibacakan ayat-ayat al-Quran akan memiliki kebaikan yang berlipat-lipat: “Terangilah rumah kalian dengan membaca al-Quran. Rumah yang banyak dibacakan ayat-ayat al-Quran adalah rumah yang memiliki banyak kebaikan.”[23]
Kadangkala, seorang anak terlahir dengan menyertakan banyak keberkahan bagi masyarakat. Manusia tidak jua mengerti, gerangan nikmat apakah yang ingin Allah berikan kepadanya. Imam Ali as berargumen dalam Nahjul Balaghah: “Janganlah kalian menjual murah diri kalian...,” yang kemudian dilanjutkan dengan argumentasi logis yang disampaikan berikut ini:
Prolog pertama: Apakah Nabi merupakan orang yang dermawan di sisi Allah atau tidak? Jawabannya: sosok Nabi merupakan ciptaan Allah yang paling baik dan paling mulia. Di sisinya tak ada kemuliaan, kebaikan, atau kedudukan, kecuali yang diberikan Allah kepadanya.
Prolog kedua: Kehidupan Nabi sangatlah sederhana. Nabi tidur dalam keadaan lapar ketika berada di syi’ib Abu Thalib. Jika memperoleh harta dari Khadijah, beliau segera mengeluarkannya untuk Islam, bukan untuk dirinya. Artinya, rasa lapar dirasakan Nabi sclama tiga tahun di syi’ib Abu Thalib.
Sesuai dengan perkataan Imam Ali as bahwa apabila kepemilikan harta merupakan sebuah kesempurnaan, bisa dikatakan bahwa Nabi tidak memiliki kesempunaan yang pantas untuknya dan Allah telah mengabaikannya, dan ini tidaklah benar. Padahal, Allah telah memuliakan Nabi-Nya dan tidak mengabaikannya. Ketahuilah bahwa jika Allah memberikan kekayaan kepada seseorang yang kemudian menjadi lupa kepada Allah Swt, maka Alah telah melupakan dan menghinakan orang tersebut. Sebabnya, ia telah memanfaatkan hartanya bagi sesuatu yang tidak jelas dan tidak berdasarkan pengetahuan agama yang benar.
Allah menyetarakan kedudukan orang-orang yang memiliki ilmu, pengetahuan, hikmah, dan tauhid dengan kedudukan para malaikat. Sedangkan orang-orang yang dikuasai nikmat makanan, minuman, dan sebagainya, disetarakan Allah dengan binatang. Dalam surat al-Imran, Allah Swt berfirman: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang menegakkan keadilan, ...malaikat, dan orang-orang yang berilmu.”(al-Imran: 17) Allah Swt menyatakan keesaan-Nya. begitu pula halnya dengan para malaikat dan ulama. Di sini disebutkan bahwa ulama dan orang-orang yang berilmu disejajarkan dengan dan duduk bersama para malaikat.
Adapun ketika Allah berbicara tentang materi, Allah Swt berfirman: “Kami perintahkan matahari untuk bersinar dan hujan untuk turun agar dapat mengairi bumi dan agar tanaman-tanaman kalian tumbuh. (Semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.”(al-Nazi’at: 33) Dalam ayat ini, dikarenakan Allah berbicara tentang materi. maka keberadaan manusia disejajarkan dengan keberadaan binatang. Pada ayat yang lain, Allah Swt berfirman: “Makanlah dan gembalakan binatang-binatangmu.” Makanlah secukupnya dan berikanlah makanan yang memadai untuk binatang-binatangmu. Jika manusia makan melebihi kebutuhannya. sampai pada batas menjatuhkan kehormatannya, maka umurnya akan habis semata-mata untuk mencari dunia. Keadaan semacam ini jelas merupakan kerugian yang sangat besar. Para pengejar kehidupan duniawi merupakan sekumpulan orang berwatak buruk yang menghabiskan waktunya di meja-meja permainan dan kesenangan. Inikah yang disebut dengan standar kesempurnaan?
Mungkin saja terdapat sejumlah orang yang sepanjang hidupnya tidak memiliki harta. Dengan demikian, harta yang dihabiskan orang-orang kaya dalam permainan judi hanya dalam tempo semalam bukanlah sebuah kebanggaan. Harta yang dihabiskan melebihi kebutuhan Anda untuk menjaga kehonnatan din, hanya akan berdampak buruk bagi Anda.
Ini bukan berarti kita diperintahkan untuk duduk berpangku tangan dan tidak bekerja sama sekali. Allah Swt memerintahkan kita untuk tetap bekerja agar menjadi umat yang mandiri dan tidak bergantung kepada betas kasih orang lain. Namun jangan sampai hati kalian menjadi terikat kepada selain-Nya. Terhadap orang yang hatinya terikat kepada selain-Nya, Allah berfirman: “Di sisi-Ku, kamu dan binatang temakmu adalah sama saja.” Selanjutnya: “Makanlah dan gembalakanlah binatang- binatangmu.”
Setiap individu jelas harus berusaha dan terus memperbesar hasil produksinya demi memenuhi kebutuhan masyarakat Islam. Imam Ali as berkata: “Siapa saja yang menemukan air dan tanah tetapi miskin. Allah akan menjauhinya.”[24] Jika seseorang atau sekelompok orang memiliki air dan tanah yang cukup, namun tetap saja hidup miskin dan bergantung pada orang lain, maka Allah Swt akan menjauhkan rahmat-Nya. Bukankah ini merupakan himbauan kepada manusia agar mati bekerja dan berusaha? Tak ada hal lebih buruk ketimbang menganggur. Dan doa yang dipanjatkan orang yang menganggur tidak akan diterima oleh-Nya.
Inilah Islam yang menganugerahkan kebebasan bagi umat manusia serta meniupkan ruh kehormatan dan kemuliaan bagi setiap orang. Seorang petani berkata kepada Imam Ali as: “Kebun kami airnya sedikit sekali.” Maka Imam pun segera datang untuk mencari sumber air dan membuat sumur. Imam membawa cangkul dan mulai menggali. Tetapi Imam tidak kunjung mendapatkan sumber air. Keesokan harinya, Imam datang lagi ke tempat tersebut untuk mencari sumber air, dan kembali mencangkul, sampai nafas beliau terdengar begitu panjang lantaran mengalami keletihan. Tatkala memperoleh sumber air, Imam berkata: “Sumur ini adalah shadaqah.”
Apabila kita mengaku sebagai pengikut Ahlul Bait, kita harus menjalani kehidupan yang zuhud di dunia ini. Kita harus produktif dan aktif terlibat dalam kehidupan, sehingga kita tidak lagi memerlukan keberadaan orang-orang asing. Kebun yang paling baik adalah kebun yang airnya mengalir dari dan untuk kebun tersebut. Hadis ini sesungguhnya ingin mengatakan bahwa kedati kita diharuskan bekerja sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain, namunjangan sampai kita menjadi tamak dengan apa yang ada di tangan sendiri.
Rasul saww bersabda: “Rumah yang dibacakan ayat-ayat al-Quran maka kebaikannya akan bertambah banyak, penghuninya akan tenteram, dan akan menerangi penghuni langit sebagaimana bintang-bintang di langit menerangi penghuni bumi.”[25]

Sumber: Rahasia-Rahasia Ibadah; Ayatullah Jawadi Amuli; Penerbit Cahaya, Bogor, Indonesia; Cetakan ke-1; Juni 2001 M.


[1] Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-147.
[2] Mukadimah tafsir dinisbahkan kepada Muhyidin bin al-Arabi (lihat, juz 2, hal. 4). Lihat juga, Mulla Abdurraziq al-Kasani, Takwilaat, Tafsir surat “Al-Hamd”; juga Syaikh al-Baha’i, di akhir bukunya, Falah al-Sail.
[3] Al-Sahifah al-Sajjadiyah, dalam doa “Khatam al-Quran”.
[4] Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-147.
[5] Ushul al-Kafi, juz 2, Bab “Keutamaan al-Quran”, hadis ke-2.
[6] Ushul al-Kafi, juz 2, Bab “Keutamaanal-Quran”, hadis ke-1 dan 11.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-160.
[11] Musnad Ahmad, juz 1, hal. 275, 375, 385, dan 460, serta hadis serupa dengan redaksi yang berbeda dalam kitab Jami’ al-Saqir, juz 2, hal. 75; Ghazali, Ihya al-Ulum, juz 2, hal. 21.
[12] Ushul al-Kafi, op. cit.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Abu Abdillah berkata: “Umar bin Khatab melewati hajar aswad dan berkata: Demi Allah, wahai hajar, kami sungguh mengetahui bahwa engkau hanyalah batu yang tidak memberikan bahaya dan manfaat, tetapi kami melihat Rasulullah menciummu. Imam Ali kemudian berkata kepadanya: Bagaimana, wahai ibnu Khatab? Demi Allah, pada hari kiamat kelak Allah sungguh akan membangkitkannya dan ia memiliki dua lisan dan dua bibir serta ia bersaksi atas siapa yang mempercayainya. Ia adalah Amrullah di bumi-Nya yang dengannya ciptaan Allah membai’atnya. Umar berkata: Allah tidak akan membiarkan kita tinggal di satu wilayah yang di dalamnya tidak ada Ali bin Abi Thalib.’” Lihat, Ila al-Syara’i, Bab CLXI, hadis ke-8, hal. 246.
[18] Ushul al-Kafi, juz 2, Bab “Keutamaan Al-Quran”, topik yang berkenaan dengan keberadaan rumah-rumah yang di dalamnya senantiasa dibacakan al-Quran, hadis ke-3.
[19] Ad-Dilmy, Irsyad al-Qulub, Bab XIV, hadis ke-2.
[20] Ushul al-Kafi, juz 2, Bab “Keutamaan Al-Quran”, hadis ke-1.
[21] Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-127.
[22] Wasail al-Syi’ah, juz 5, hal.377.
[23] Ushul al-Kafi, juz 2, Bab “Keutamaan al-Quran”, hadis ke-1.
[24] Wasail al-Syi’ah, juz 12, hal. 24.
[25] Bihar al-Anwar, juz 41, hal. 39, dan juz 42, hal. 71; Furu al-Kafi, juz 7, hal. 54; Wasail al-Syi’ah, juz 13; dan al-Waqf, Bab VI, hadis ke-2.