KEUTAMAAN
MEMBACA AL-QURAN
Oleh: Ayatullah Jawadi Amuli
Penerjemah: Jawad Muammar
Orang yang membaca al-Quran akan mampu “melihat“ Allah Swt
apabila ia telah mencapai rahasia bacaannya. Imam Ali as berkata: “Allah Swt
menampakkan diri-Nya melalui kitab-Nya tanpa mereka mampu melihatnya.”[1]
Allah Swt menampakkan diri-Nya melalui kitab-Nya tanpa terlihat. Imam as
berkata: “Setiap hakikat terkandung dalam al-Quran, begitu pula
kejadian-kejadian yang lampau dan yang akan datang. Al-Quran tidak menjawab
ketika Anda bertanya kepadanya dan tidak menjawab ketika Anda mangajaknya
berbicara, tetapi aku adalah orang yang berbicara dengan al-Quran, aku
mengetahui rahasia-rahasianya dan akan menjelaskannya kepada Anda.”
Imam menjelaskan makna pembacaan
al-Quran yang benar melalui ucapannya: “Allah Swt pemilik al-Quran ini telah
menampakkan diri-Nya bagi hamba-hamba-Nya melalui kitab-Nya.”[2]
Imam Shadiq as pun meriwayatkan makna yang sama dengan mengatakan: “Allah
Swt ber-tajalli untuk hamba-hamba-Nya melalui ucapan-Nya, tetapi mereka
tidak melihat-Nya.”
Imam Shadiq as senantiasa
mengulang-ulangi sebagian ayat al-Quran: “Hanya Engkaulah yang kami sembah
dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”(al-Fatihah: 5) Atau
ayat: “... yang menguasai hari pembalasan.”(al-Fatihah: 4) Dan Imam
berkata:
“Sepertinya aku
mendengar Allah berbicara.”
Ungkapan yang
paling baik dan indah dalam pemikiran Islam adalah tajalla. Al-Quran dan
hadis telah mengajarkan kepada kita makna dari istilah tersebut. Ketika Allah
Swt ingin menurunkan hakikat keberadaan dari alam gaib ke alam ini, Allah
berfirman: “Tajalla.” Kata tajalla berbeda dengan tajaafa.
Diturunkannya al-Quran di bulan mulia ini dikatakan ibarat air hujan yang turun
dari langit. Hujan yang turun secara tajaafa berarti hujan yang turun di
satu tempat. Ia tidak turun di tempat lain. Ketika sesuatu berada di atas, maka
ia tidak berada di bawah. Tatkala turun ke bumi, ia tidak berada di langit.
Tetapi sewaktu Allah berfirman: “Kami
turunkan al-Quran di bulan Ramadhan,” apakah itu sama dengan turunnya
hujan? Tatkala al-Quran bersama Kami, maka pada saat bersamaan, ia tidak
bersama kalian. Dan sewaktu Kami menurunkannya kepada kalian, ia tidak lagi
bersama Kami. Apakah turunnya al-Quran seperti itu? Demikian pula arti: “Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan.”(al- Qadar: 1)
Dan apakah makna dari ayat: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran...,”(al-Baqarah:
185), seperti turunnya hujan?
Tidak, tidak demikian halnya. Al-Quran
turun di bulan ini secara bertahap, secara berangsur-angsur atau tidak
sekaligus, artinya bahwa hakikat yang ada pada Allah ini tetap ada pada Allah.
Tetapi turun dalam bentuk kalam agar manusia dapat melafalkan, mendengarkan,
menuliskan, dan membacanya. Al-Quran diturunkan secara tajalla dan bukan
tajaafa.
Jika seorang mujtahid atau filosof ingin
menjelaskan dan mengajarkan kepada orang lain mengenai satu hal yang bersifat
logis atau suatu riwayat yang merupakan bagian dari pengetahuan Islam, yang
benar-benar dipahaminya, maka itu dapat dikatakan bahwa: “Ia menurunkan untuk
orang lain atau secara berangsur-angsur menurunkannya kepada mereka.” Proses
penurunannya berlangsung secara berangsur-angsur dalam bentuk buku, tulisan,
atau gelombang radio maupun gambar. Pemikiran atau makna ini tidak serta merta
menjadikan pikirannya kosong melompong.
Demikian pula halnya dengan seorang
mujtahid yang memberikan pelajaran-pelajaran fiqh dalam bentuk yang sederhana,
sehingga dapat dipahami para mukalaf. Dalam proses pemberian pelajaran
tersebut, keberadaan ruhnya yang tinggi tidak lantas menjadi kosong dari
potensi ijtihad. Sebabnya, yang ia turunkan bukanlah potensi ijtihadnya,
melainkan hakikat-hakikat yang dipahami manusia, yang diberikan secara
berangsur-angsur. Inilah makna dari tanzil. Turunnya al-Quran dan
hadis-hadis Ahlul Bait terjadi dalam bentuk seperti ini. Proses penurunannya
bersifat tajalla.
Shahifah al-Sajjadiyah milik Imam Sajjad as yang merupakan “Zabur”-nya Ahlul Bait,
harus diletakkan di samping al-Quran dan Nahj al-Balaghah.
Imam as-Sajjad as memiliki doa yang
bernama Khatam al-Quran, yang umumnya dibaca orang seusai menghatamkan
al-Quran. Sebuah doa yang menjelaskan tentang keagungan al-Quran dan pertemuan
dengan berbagai berkah dan kebaikan sampai pada kalimat “malaikat kematian
ber-tajalla karena ia menghilangkan hijab-hijab alam gaib dan
mencampakkannya ke dalam lingkaran mimpi tentang kematian yang menakutkan.”[3]
Malaikat kematian, Izrail, ber-tajalla di hadapan manusia dari balik
alam gaib untuk mengambil ruh mereka. Ya Allah, pada hari itu, rahmatilah kami.
Turunnya malaikat Izrail adalah tajalla Allah Swt.
Tajalla
semacam ini terdapat dalam al-Quran (juga dalam Nahjul Balaghah),
khususnya ketika berbicara tentang nabi Musa as: “Tatkala Tuhannya nampak
bagi gunung itu.”(al-A’raf: 143) Dalam Nahjul Balaghah disebutkan[4]
khusus tentang keagungan al-Quran. Imam Shadiq as juga meriwayatkan tentang
keberadaan tempat khusus yang menjadi miliknya. Begitu pula dengan Imam Zainal
Abidin yangmeriwayatkan khusus tentang Izrail, yang memiliki makna serta
perumpamaan yang paling indah, yang membuat manusia tidak takut terhadap keberadaan
alam gaib.
Jika ingin mengetahui apakah kita telah
mencapai rahasia membaca al-Quran atau belum, harus diperhatikan apakah kita
telah “menziarahi“ Allah melalui al-Quran dengan ruh kita? Apakah kita telah
“melihat“ dengan mata hati, “pemilik“ kalimat-kalimat tersebut? Jika kita telah
“melihat“-Nya, itu berarti kita telah sampai pada rahasia pembacaan al-Quran.
Jika tidak, mungkin kita hanya mencapai tingkat hukum dan adab dalam membaca
al-Quran, dan belum mencapai rahasianya.
Banyak sekali bab dalam kitab-kitab
Imamiyah yang membahas tentang bacaan dan keagungan al-Quran; Seperti al-Kafi
karya Syekh al-Kulaini ―semoga Allah meridhainya. Di dalamnya terdapat
bab yang berjudul Keutamaan al-Quran, serta bab lain yang berjudul Keutamaan
Membawa al-Quran. Orang yang membawa al-Quran akan dibangkitkan bersama
para malaikat. Mereka tidak seperti kalangan Yahudi yang membawa kitab Taurat.
Lagi pula, mereka bukan membawa Taurat. Berkenaan dengan orang Yahudi, Allah
Swt secara khusus berfirman: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya, adalah seperti keledai yang
membawa kitab-kitab yang tebal.”(al-Jumuah: 5)
Sebagaimana yang dikatakan dalam surat
tersebut, kita menyaksikan betapa berbahayanya orang-orang Yahudi. Agar bahaya
semacam itu tidak sampai menyebar ke tengah-tengah masyarakat Islam, Allah Swt
berfirman dalam ayat: janganlah kalian memperlakukan al-Quran sebagaimana
perlakuan orang-orang Yahudi terhadap Taurat. Mereka (orang-orang Yahudi, ―peny.)
seolah-olah membawa Taurat, padahal sebenarnya tidak. Kami telah
menganugerahkan kitab Taurat, namun mereka enggan mengambilnya (mcngamalkannya,
―peny.).
Orang yang membawa al-Quran memiliki
keutamaan dikarenakan ia mengetahui maknanya dan mengerjakan hukum serta
adab-adabnya, yang keseluruhannya dapat menghantarkannya pada rahasia al-Quran.
Orang yang membawa al-Quran harus memiliki karakteristik sebagaimana yang
termaktub dalam ucapan Imam Shadiq as: “Orang yang hafal al-Quran dan
mengamalkannya akan dibangkitkan bersama para malaikat.”[5]
Orang yang memahami dan mengamalkan al-Quran akan dibangkitkan bersama para
malaikat dan orang-orang yang mulia.
Kemuliaan yang disebutkan al-Quran
tersebut sekaligus menunjukkan bahwa pada hari kiamat nanti, aspek batin al-Quran
(yang dicapai seseorang yang telah menghafal dan mengamalkannya, ―peny.)
akan menjadi jembatan yang menghubungkan barisan orang-orang mukmin, syuhada,
dan para shalihin. Pada hari kiamat kelak, tcrdapat banyak sekali barisan yang
terdiri dari orang-orang bertakwa, para shalihin, para Syuhada, ulama, dan
sebagainya. Orang yang bercahaya akan melewati barisan-barisan tersebut, dan
berkata kepada mereka: “Kami memahami ini (al-Quran, ―peny.) dengan
sebaik-baiknya, ia bersama kami.”[6]
Dari Imam Shadiq as, Rasulullah saww
bersabda: “Pemegang al-Quran adalah orang-orang yang mengetahui penghuni
surga.”[7]
Raut wajah dari orang yang memegang al-Quran akan jelas terlihat oleh seluruh
penghuni surga. Orang yang menjumpai kesulitan dalam mempelajari al-Quran, tetapi
mati menanggungnya, akan memperoleh pahala yang berlipat ganda. Adapun orang
yang menghafal al-Quran dan mempelajari hukum-hukumnya tanpa merasakan
keletihan dan kesulitan, hanya akan mendapatkan satu pahala. Karena itu, Imam
Shadiq as berkata: “Orang yang mempelajari al-Quran dan menghafalnya dengan
kesulitan akan mendapatkan dua pahala.”[8]
Diriwayatkan dari Imam Shadiq as: “Seyogianyalah
bagi seorang muslim mempelajari al-Quran sebelum ia menemui ajalnya, atau ia
mati ketika sedang mempelajari al-Quran.”[9]
Tidak pantas bagi seorang mukmin yang menjumpai kematiannyadalam keadaan tidak
memahami al-Quran. Sebabnya, ketika wafat, manusia akan berbicara dalam lisan
al-Quran dan pembacaan talkin terhadap mayitnya akan menggunakan bahasa Arab.
Aspek bathin dari amal dan upaya mempelajari al-Quran dari seorang Muslim yang
wafat, akan muncul dan berbicara dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa
penghuni surga.
Seseorang boleh jadi bertanya, bagaimana
mungkin nanti di dalam surga, seseorang berbicara dalam bahasa Arab, sementara
itu bukan bahasa ibunya? Itu disebabkan bahasa penghuni surga akan sesuai
dengan akidah yang dianutnya, dan lisan serta bentuk manusia akan nampak
selaras dengan keadaan hatinya. Jika tidak, bagaimana mungkin sebagian manusia
akan menjelma dalam bentuk binatang sementara sebagian lainnya dalam bentuk
manusia? Sebagian manusia akan dibangkitkan dengan wajah yang hitam legam,
sementara sebagian lainnya dengan wajah putih bercahaya?
Aspek bathinlah yang akan menyingkap
bentuk dan bahasa ini, bukan aspek dhahir (lahiriah)nya. Akidahlah yang akan
mengajarkan lisan kita untuk berbicara dalam bahasa Arab pada hari kiamat
kelak. Di surga, setiap orang akan berbicara dalam bahasa Arab, di mana nabi
Daud akan bertindak sebagai penceramah bagi seluruh penghuni di situ. Amirul
Mukminin Ali as dalam kitab Nahjul Balaghah berkata: “Saudaraku, nabi Daud
adalah orang yang akan berbicara dalam bentuk ceramah.”[10]
Kualitas akidahlah yang akan menentukan seseorang ketika wafat, juga
setelahnya. Orang yang meninggalkan dunia fana ini, dengan memeluk akidah Islam
dan al-Quran, akan berbicara dalam, sekaligus memahami, bahasa Arab.
Amat disayangkan apabila seseorang
menemui ajalnya sementara dirinya tidak mengerti bahasa Arab. Setiap orang
(yang tidak mengerti, ―peny.) harus mempelajari bahasa Arab. Dan jihad
yang dilakukan orang bodoh (tidak mengetahui) merupakan bagian dari jihad
akbar. Sebagaimana orang yang berperang, orang yang berjihad menghadapi
kebodohan dan seluruh kejelekan akhlak akan memiliki tiga perkara. Dalam kancah
peperangan, resiko yang harus ditanggung, kalau bukan kerugian ―yang tentunya
lebih besar dari kekalahan― maka seseorang akan memperoleh kemenangan, atau
malah kematian. Tak ada pilihan lain di luar semua itu.
Bila seseorang takluk di bawah keinginan
syahwatnya, maka ia akan terpenjara oleh hawa nafsu dan setan. Orang yang
berkata: “Aku akan melakukan dan mengatakan apa yang aku sukai,“ pada
dasarnya adalah orang yang telah mengalami kekalahan telak di medan perang dari
musuh yang bersemayam dalam dirinya sendiri. Kekalahan yang diderita berbentuk
kejatuhan dirinya dalam perangkap kekufuran.
Apabila seseorang senantiasa berperang
melawan keinginan dirinya, serta berusaha sekuat tenaga untuk tidak jatuh ke
dalam perangkap perasaannya yang kerap mengajaknya untuk berbuat dosa, kemudian
wafat dalam keadaan seperti ini, maka ia akan menjadi seorang syuhada yang
memenangkan pcrtarungan melawan musuh yang ada dalam diri (jiwa)nya. Jika
seseorang mengikuti perasaan jiwa atau keinginan akalnya, tentu tak akan ada
sesuatu pun dalam dirinya yang bisa menyakiti atau menyiksanya. Orang seperti
ini telah memenangkan jihad akbarnya.
Rasul saww mengisyaratkan dengan
sabdanya: “Tak seorang pun dari kalian kecuali diikuti oleh setan.”
Sahabat-sahabat bertanya: “Apakah Anda juga, ya Rasulullah?” Rasul saww
menjawab: “Ya, tetapi Allah menjagaku darinya sehingga aku selamat dari
godaan setan.”[11]
Apabila kita ingin mengetahui apakah
diri kita telah keluar sebagai pemenang atau justru menjadi pecundang dalam
sebuah peperangan, ditentukan oleh apakah kita telah menyerah kalah terhadap
dosa-dosa kita ataukah tidak. Tak ada yang lebih hina dan lebih buruk dari
dosa. Karenanya, Imam suci berkata: “Manusia harus memerangi kebodohannya,
mempelajari Al-Quran, dan sungguh-sungguh belajar tentang bagaimana
menghilangkan kebodohan.” Apabila seseorang menemui ajalnya dalam keadaan
belajar, ia akan digolongkan sebagai orang yang mati syahid dalam peperangan.
Banyak riwayat menyebutkan: Jika orang
yang sakit kemudian mati di peraduannya, sementara dirinya yakin terhadap
Islam, ia akan digolongkan sebagai orang yang mati syahid. Sebab, ia tidak
menyerahkan dirinya dihadapan hawa nafsu. Berkenaan dengan itu, Nabi bersabda:
“Seyogianya seorang mukmin tidak wafat sampai dirinya telah atau sedang
mempelajari al-Quran.”[12]
Dengan demikian, seseorang harus terus menerus memerangi kebodohan sampai
dirinya memperoleh kemenangan, atau kalaupun ajal keburu menjemputnya, minimal
ia tidak sampai jatuh sebagai tawanan kebodohannya sendiri.
Apabila seseorang mempelajari al-Quran,
kemudian melupakannya disebabkan kurangnya perhatian terhadap pelajaran yang
dikandangnya, kemungkinan besar ia akan mendapat azab yang sangat menyakitkan.
Banyak riwayat yang menyebutkan tentang hal tersebut.
Imam Shadiq as berkata: “Al-Quran
merupakan amanat Allah untuk ciptaan-Nya, maka sepantasnyalah bagi seorang
muslim untuk melihat amanat yang diberikan kepadanya dan membacanya 50 ayat
dalam satu hari.”[13]
Al-Quran adalah amanat Allah untuk manusia. Karenanya, sudah sepantasnyalah
bagi manusia untuk melihat amanat ini siang dan malam, serta membacakan 50 ayat
darinya. Imam Shadiq juga mangatakan: “Melihat al-Quran atau kalimat-kalimat
Allah merupakan sebuah ibadah.”[14]
Tidak seperti kitab-kitab lain, tak ada satupun yang bisa menyerupai kitab
mulia tersebut. Kedati tidak mengetahui artinya, seseorang yang membacanya akan
tetap mendapat pahala membaca. Itu disebabkan al-Quran merupakan kitab Allah.
Tak seorangpun yang dapat berbicara seperti kitab ini.
Apabila membandingkan ayat-ayat al-Quran
dengan isi Nahjul Balaghah yang terkenal, kita akan mendapatkan bahwasannya
ayat-ayat al-Quran memiliki cahaya yang khusus. Kita tak mungkin menyetarakan
kalimat-kalimat Imam dengan ayat-ayat Al-Quran. Ceramah-ceramah Nabi yang kita
baca akan bercahaya apabila di tengah-tengahnya terselip ayat-ayat al-Quran.
Ayat-ayat tersebut berbeda dengan sabda Rasul saww.
Al-Quran adalah tali Ilahi, sebagaimana
firman Allah Swt: “...Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah.” (al-Imran: 103) Berpeganglah kamu semua kepada tali Allah yang
merupakan kalam dan agama-Nya, dikarenakan ia menghubungkan kalian dengan atap
kehidupan yang abadi. Jangan hanya diam di dasar lubang, namun berpeganglah
dengan tali ini, dan membumbunglah ke atas, sebab sebagian dari tali yang
menjulur ini berada di tangan manusia, sedangkan sebagian lainnya di “tangan“
Allah Swt. Setiap orang yang memegang sebagian tali Allah dan membahas
ayat-ayat al-Quran akan berjumpa dengan Allah Swt.
Rahasia membaca al-Quran tercapai
tatkala seseorang menduduki maqam di mana dirinya mampu melihat di tangan siapa
bagian ujung dari tali yang terjulur dari tangannya. Dalam kondisi demikian, ia
telah mencapai rahasia ibadah dan al-Quran. Sebaliknya, orang yang membaca al-Quran
namun tidak mengetahui di tangan siapa bagian ujung tali itu digenggam, belum
mencapai rahasia al-Quran.
Karena itu, para imam berkata: “Manusia
wajib membaca al-Quran minimal 50 ayat dalam satu hari, agar ia tetap
berhubungan dengan amanat Allah Swt. Dan untuk menjelaskan bahwa al-Quran
adalah tali yang tidak putus, sebagian ada di tangan Allah dan sebahagian lagi
ada di tangan manusia, setiap kali manusia melihat makna-makna al-Quran dan
tafsimya maka pasti ada hal yang bisa dibahas dan diteliti.”
Imam Sajjad as berkata: “Ayat-ayat
al-Quran merupakan khazanah. Ketika setiap khazanah disingkapkan,
sepantasnyalah Anda melihat apa yang ada di dalamnya.”[15]
Ayat al-Quran merupakan khazanah Ilahi yang tak akan pernah sirna. Setiap kali
usai membaca satu ayat, sepantasnya Anda menjenguk ke dalam khazanah tersebut
untuk menyaksikan apa yang ada di dalamnya. Tidak benar kalau dikatakan bahwa
isi ayat-ayat tersebut hanya pengulangan semata, “...dikarenakan al-Quran
bergerak laksana berputarnya matahari dan bulan.”[16]
Sebagaimana keduanya menerangi kehidupan manusia pada waktu siang dan malam
hari, demikian pula halnya dengan al-Quran. Ia menerangi jalan manusia, yang
dipenuhi kesengsaraan serta cobaan-cobaan siang dan malam, menuju kebahagiaan.
Orang yang berjalan di bawah terpaan cahayanya, tak akan menjumpai kesulitan
dalam menjalankan berbagai amanat kehidupan.
Perlu dicatat, pemahaman para ahli
tafsir terhadap ayat-ayat al-Quran berbeda-beda. Contohnya, sejumlah ahli
tafsir mengatakan bahwa mudhof (disandarkan) dalam sebagian kalimat
harus dibuang. Umpama dalam peristiwa yang berkenaan dengan saudara-saudara
Nabi Yusuf. Ketika mereka mengajak Nabi Yusuf pergi namun tidak membawanya
pulang kembali, ayahnya, nabi Ya’qub mempertanyakannya: “Apa yang kalian
perbuat terhadap Yusuf.” Mereka pun menjawab: “...Dan tanyalah kepada
(penduduk) negeri.”(Yusuf: 82) Sebahagian mufassir berpendapat bahwa maksud
darinya adalah “Tanyalah kepada penduduk.” Alasan mereka, mudhofnya
telah dibuang.
Sementara tafsir lain menyebutkan “Dan
tanyalah (penduduk) negeri.” Maksudnya, tanyalah kepada negeri itu kalau
memang ia (negeri tersebut, ―peny.) bisa berbicara dengan lisan dan Anda
sendiri mengerti ucapannya. Dan pintu-pintu dan dinding-dinding negeri tentu
akan menjawab pertanyaan anda. Tetapi pada kenyataannya, Anda tidak bisa
bertanya kepada mereka. Dalam hal ini, keberadaan mudhof tidak di
hilangkan. Bukankah pintu-pintu dan dinding-dinding bisa merasakan sesuatu?
Bukankah ia akan bersaksi bagi kebaikan kita jika kita termasuk orang-orang
yang baik, dan bersaksi jika kita termasuk orang-orang yang zalim? Bukankah
bumi akan bersaksi bagi penghuninya?
Di sini jelas bahwa segala sesuatu akan
memahami sesuatu. Bukankah Masjid akan memberikan syafaat dan mengeluh terhadap
yang orang shalat di dalamnya? Terutama berkenaan dengan Hajar Aswad.
Sebagian orang bersikeras dengan keraguannya tentang mengapa kita menerima hajar
aswad atau menciumnya? Dalam pandangan orang tersebut, ia tak lebih dari
sebongkah batu yang tidak dapat mendatangkan bahaya dan tidak memberikan syafaat,
tak ubahnya batu-batu yang lain. Dengan yakin, orang tersebut mengatakan bahwa
semua itu merupakan perbuatan bid’ah. Padahal para imam tidak menentang
perbuatan yang dikatakan bid’ah tersebut (mencium Hajar Aswad, ―peny.).
Dengan demikian, orang yang mengatakan bid’ah itu disebut sebagai pendusta.
Pada hari kiamat kelak, Hajar Aswad akan
bersaksi dan mengeluh.
Apabila ia memang tidak mendatangkan bahaya dan tidak
memberikan manfaat, lantas mengapa ia mesti bersaksi? Ia merupakan kekuatan
Allah Swt di muka bumi. Dengan kata lain, ia merupakan tajalla
(kekuatan) Allah Swt, bukan tajafi-Nya.[17]
Mengingat itu semua, para ulama irfan
memiliki perasaan malu untuk berbuat dosa. Mereka berkata: “Segala sesuatu
yang ada di jagat alam memiliki mata yang melihat apa yang kita lakukan ―kita
dilihat― maka bagaimana kita bisa melakukan maksiat?” Inilah pendapat
mereka tentang al-Quran. Ayat-ayat Al-Quran merupakan khazanah Ilahi yang tidak
pernah kering hanya dengan satu tafsiran. Tatkala makna dari salah satu ayat
al-Quran dipaparkan, pada saat yang sama, salah satu pintu khazanah Ilahi telah
terbuka. Namun, bagaimanapun kalian berusaha mengurasnya, khazanah tersebut tak
akan pernah kering.
Jika seseorang telah membaca al-Quran
dengan baik, dan mencapai makna batinnya, maka rumah tinggalnya akan benderang
laksana bintang- bintang. Rumah yang di dalamnya acapkali dibacakan al-Quran
adalah rumah yang diselimuti bintang yang bercahaya benderang.[18]
Malaikat akan melihatnya sebagaimana penduduk bumi melihat bintang-bintang yang
bercahaya. Malaikat Izrail akan mengunjungi rumah tersebut sebanyak lima kali
dalam sehari, yakni dalam waktu-waktu pelaksanaan shalat[19],
demi mengetahui apa yang sesungguhnya dikerjakan sang penghuninya pada
waktu-waktu tersebut.
Nabi saww bersabda: “Terangilah rumah
kalian dengan bacaan al-Quran dan janganlah kalian jadikan rumah seperti
kuburan, sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani yang sembahyang di Sinagoge
dan Gereja dan melakukan pertukaran serta mengabaikan rumah-rumah mereka.”[20]
Keberadaan rumah dan kuburan tentunya
amat berbeda. Namun, rumah yang dihuni sekelompok orang yang hidup bersama,
yang tidak memiliki pengaruh keilmuan serta tidak berkhidmat untuk agama Islam
dan kaum muslimin, pada hakikatnya adalah kuburan, dan penghuninya terdiri dari
orang-orang yang telah mati.
Janganlah kalian jadikan rumah-rumah
kalian seperti kuburan. Jadikanlah rumah kalian sebagai tempat yang menerangi
kehidupan masyarakat. Janganlah kalian seperti orang Yahudi dan Nasrani yang
tidak menyembah Allah di dalam rumah-rumah mereka sendiri, kecuali di Sinagoge
dan Gereja pada waktu-waktu tertentu. Ibadah memang harus dilakukan di masjid,
namun ibadah yang bersifat khusus dapat dilaksanakan di dalam rumah.
Para imam berkata: “Jagalah
tempat-tempat agama, masjid-masjid,mendapatkan pertolongan Allah.”
Imam Ali as
berkata: “Orang yang keluar dari kelompok masyarakat akan menjadi santapan
setan, sebagaimana kambing yang keluar dari kelompoknya akan menjadi santapan
serigala.”[21]
Begitu pula manusia yang keluar dari masyarakat dan tidak patuh terhadap
tanggungjawab, shalat Jumat, dan shalat berjamaah, akan menjadi santapan setan.
Orang yang meninggalkan kehidupan masyarakat dan hidup menyendiri tak ubahnya
seekor kambing yang meninggalkan kelompoknya.
Seorang buta datang
kepada Imam Ali as dan berkata: “Kadang- kadang ada seorang yang menuntunku
ke masjid dan kadang-kadang tak ada yang menuntunku, maka apa yang harus saya
lakukan?” Imam as menjawab: “Ambillah seutas tali dan ikatkanlah tali
itu antara masjid dan tempat Anda bekerja atau rumahmu. Jika tidak ada orang
yang menuntunmu, maka tali itulah yang akan menuntunmu ke arah masjid.”[22] Imam
mewasiatkan kepada orang buta tersebut untuk memanfaatkan segenap sarana yang
dapat menghantarkannya ke masjid.
Mengisolasi diri
dari umat Islam dan kaum muslimin merupakan sikap dan tindakan yang sangat
berbahaya. Mengikuti shalat berjamaah merupakan sebuah berkah. Orang yang
memiliki hubungan dengan tempat ibadah sesungguhnya telah mcmbawa “masjid” ke
dalam rumahnya. Bagaimana mungkin seorang Muslim membiarkan dirinya sepanjang
siang dan malam tanpa membaca al-Quran di dalam rumahnya? Al-Quran memberikan
pengaruh yang sangat kuat kepada orang yang membacanya, sehingga orang tersebut
akan mengerjakan perintah-perintah-Nya.
Imam suci berkata:
“Terangilah rumah-rumah kalian dengan membaca al-Quran.” Seperti apakah
rumah tersebut? Sesuai dengan pernyataan al-Quran, rumah yang sejahtera adalah
rumah yang menjadikan hati kalian bercahaya. Terangilah hati kalian dengan
ayat-ayat al-Quran dan berusahalah untuk mengosongkan hati kalian dari apapun
kecuali Allah Swt. Sebab, setiap nikmat yang diperoleh manusia bersumber dari
keberkahan al-Quran. Orang yang membaca al-Quran tidak mungkin bersikap sombong.
Dan rumah yang acap dibacakan ayat-ayat al-Quran akan memiliki kebaikan yang
berlipat-lipat: “Terangilah rumah kalian dengan membaca al-Quran. Rumah yang
banyak dibacakan ayat-ayat al-Quran adalah rumah yang memiliki banyak kebaikan.”[23]
Kadangkala, seorang
anak terlahir dengan menyertakan banyak keberkahan bagi masyarakat. Manusia
tidak jua mengerti, gerangan nikmat apakah yang ingin Allah berikan kepadanya.
Imam Ali as berargumen dalam Nahjul Balaghah: “Janganlah kalian menjual
murah diri kalian...,” yang kemudian dilanjutkan dengan argumentasi logis
yang disampaikan berikut ini:
Prolog pertama: Apakah Nabi merupakan
orang yang dermawan di sisi Allah atau tidak? Jawabannya: sosok Nabi merupakan
ciptaan Allah yang paling baik dan paling mulia. Di sisinya tak ada kemuliaan,
kebaikan, atau kedudukan, kecuali yang diberikan Allah kepadanya.
Prolog kedua: Kehidupan Nabi sangatlah
sederhana. Nabi tidur dalam keadaan lapar ketika berada di syi’ib Abu
Thalib. Jika memperoleh harta dari Khadijah, beliau segera mengeluarkannya
untuk Islam, bukan untuk dirinya. Artinya, rasa lapar dirasakan Nabi sclama
tiga tahun di syi’ib Abu Thalib.
Sesuai dengan perkataan Imam Ali as
bahwa apabila kepemilikan harta merupakan sebuah kesempurnaan, bisa dikatakan
bahwa Nabi tidak memiliki kesempunaan yang pantas untuknya dan Allah telah
mengabaikannya, dan ini tidaklah benar. Padahal, Allah telah memuliakan
Nabi-Nya dan tidak mengabaikannya. Ketahuilah bahwa jika Allah memberikan
kekayaan kepada seseorang yang kemudian menjadi lupa kepada Allah Swt, maka
Alah telah melupakan dan menghinakan orang tersebut. Sebabnya, ia telah
memanfaatkan hartanya bagi sesuatu yang tidak jelas dan tidak berdasarkan
pengetahuan agama yang benar.
Allah menyetarakan kedudukan orang-orang
yang memiliki ilmu, pengetahuan, hikmah, dan tauhid dengan kedudukan para
malaikat. Sedangkan orang-orang yang dikuasai nikmat makanan, minuman, dan
sebagainya, disetarakan Allah dengan binatang. Dalam surat al-Imran, Allah Swt
berfirman: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang
menegakkan keadilan, ...malaikat, dan orang-orang yang berilmu.”(al-Imran:
17) Allah Swt menyatakan keesaan-Nya. begitu pula halnya dengan para malaikat
dan ulama. Di sini disebutkan bahwa ulama dan orang-orang yang berilmu
disejajarkan dengan dan duduk bersama para malaikat.
Adapun ketika Allah berbicara tentang
materi, Allah Swt berfirman: “Kami perintahkan matahari untuk bersinar dan
hujan untuk turun agar dapat mengairi bumi dan agar tanaman-tanaman kalian
tumbuh. (Semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.”(al-Nazi’at:
33) Dalam ayat ini, dikarenakan Allah berbicara tentang materi. maka keberadaan
manusia disejajarkan dengan keberadaan binatang. Pada ayat yang lain, Allah Swt
berfirman: “Makanlah dan gembalakan binatang-binatangmu.” Makanlah
secukupnya dan berikanlah makanan yang memadai untuk binatang-binatangmu. Jika
manusia makan melebihi kebutuhannya. sampai pada batas menjatuhkan
kehormatannya, maka umurnya akan habis semata-mata untuk mencari dunia. Keadaan
semacam ini jelas merupakan kerugian yang sangat besar. Para pengejar kehidupan
duniawi merupakan sekumpulan orang berwatak buruk yang menghabiskan waktunya di
meja-meja permainan dan kesenangan. Inikah yang disebut dengan standar
kesempurnaan?
Mungkin saja terdapat sejumlah orang
yang sepanjang hidupnya tidak memiliki harta. Dengan demikian, harta yang
dihabiskan orang-orang kaya dalam permainan judi hanya dalam tempo semalam
bukanlah sebuah kebanggaan. Harta yang dihabiskan melebihi kebutuhan Anda untuk
menjaga kehonnatan din, hanya akan berdampak buruk bagi Anda.
Ini bukan berarti kita diperintahkan
untuk duduk berpangku tangan dan tidak bekerja sama sekali. Allah Swt memerintahkan
kita untuk tetap bekerja agar menjadi umat yang mandiri dan tidak bergantung
kepada betas kasih orang lain. Namun jangan sampai hati kalian menjadi terikat
kepada selain-Nya. Terhadap orang yang hatinya terikat kepada selain-Nya, Allah
berfirman: “Di sisi-Ku, kamu dan binatang temakmu adalah sama saja.”
Selanjutnya: “Makanlah dan gembalakanlah binatang- binatangmu.”
Setiap individu jelas harus berusaha dan
terus memperbesar hasil produksinya demi memenuhi kebutuhan masyarakat Islam.
Imam Ali as berkata: “Siapa saja yang menemukan air dan tanah tetapi miskin.
Allah akan menjauhinya.”[24]
Jika seseorang atau sekelompok orang memiliki air dan tanah yang cukup, namun
tetap saja hidup miskin dan bergantung pada orang lain, maka Allah Swt akan
menjauhkan rahmat-Nya. Bukankah ini merupakan himbauan kepada manusia agar mati
bekerja dan berusaha? Tak ada hal lebih buruk ketimbang menganggur. Dan doa
yang dipanjatkan orang yang menganggur tidak akan diterima oleh-Nya.
Inilah Islam yang menganugerahkan kebebasan
bagi umat manusia serta meniupkan ruh kehormatan dan kemuliaan bagi setiap
orang. Seorang petani berkata kepada Imam Ali as: “Kebun kami airnya sedikit
sekali.” Maka Imam pun segera datang untuk mencari sumber air dan membuat
sumur. Imam membawa cangkul dan mulai menggali. Tetapi Imam tidak kunjung
mendapatkan sumber air. Keesokan harinya, Imam datang lagi ke tempat tersebut
untuk mencari sumber air, dan kembali mencangkul, sampai nafas beliau terdengar
begitu panjang lantaran mengalami keletihan. Tatkala memperoleh sumber air,
Imam berkata: “Sumur ini adalah shadaqah.”
Apabila kita mengaku sebagai pengikut
Ahlul Bait, kita harus menjalani kehidupan yang zuhud di dunia ini. Kita harus
produktif dan aktif terlibat dalam kehidupan, sehingga kita tidak lagi
memerlukan keberadaan orang-orang asing. Kebun yang paling baik adalah kebun
yang airnya mengalir dari dan untuk kebun tersebut. Hadis ini sesungguhnya
ingin mengatakan bahwa kedati kita diharuskan bekerja sehingga tidak memerlukan
bantuan orang lain, namunjangan sampai kita menjadi tamak dengan apa yang ada
di tangan sendiri.
Rasul saww bersabda: “Rumah yang
dibacakan ayat-ayat al-Quran maka kebaikannya akan bertambah banyak,
penghuninya akan tenteram, dan akan menerangi penghuni langit sebagaimana bintang-bintang
di langit menerangi penghuni bumi.”[25]
Sumber: Rahasia-Rahasia Ibadah; Ayatullah Jawadi Amuli; Penerbit Cahaya, Bogor,
Indonesia; Cetakan ke-1; Juni 2001 M.
[1] Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-147.
[2] Mukadimah tafsir dinisbahkan kepada
Muhyidin bin al-Arabi (lihat, juz 2, hal. 4). Lihat juga, Mulla Abdurraziq
al-Kasani, Takwilaat, Tafsir surat “Al-Hamd”; juga Syaikh al-Baha’i, di
akhir bukunya, Falah al-Sail.
[3] Al-Sahifah al-Sajjadiyah, dalam doa “Khatam al-Quran”.
[4] Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-147.
[5] Ushul al-Kafi,
juz 2, Bab “Keutamaan al-Quran”, hadis ke-2.
[6] Ushul al-Kafi,
juz 2, Bab “Keutamaanal-Quran”, hadis ke-1 dan 11.
[10] Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-160.
[11] Musnad Ahmad,
juz 1, hal. 275, 375, 385, dan 460, serta hadis serupa dengan redaksi yang
berbeda dalam kitab Jami’ al-Saqir, juz 2, hal. 75; Ghazali, Ihya
al-Ulum, juz 2, hal. 21.
[12] Ushul al-Kafi,
op. cit.
[17] Abu Abdillah berkata: “Umar bin
Khatab melewati hajar aswad dan berkata: ‘Demi Allah, wahai hajar,
kami sungguh mengetahui bahwa engkau hanyalah batu yang tidak memberikan bahaya
dan manfaat, tetapi kami melihat Rasulullah menciummu.’ Imam Ali
kemudian berkata kepadanya: ‘Bagaimana, wahai ibnu Khatab? Demi Allah,
pada hari kiamat kelak Allah sungguh akan membangkitkannya dan ia memiliki dua
lisan dan dua bibir serta ia bersaksi atas siapa yang mempercayainya. Ia adalah
Amrullah di bumi-Nya yang dengannya ciptaan Allah membai’atnya.’ Umar
berkata: ‘Allah tidak akan membiarkan kita tinggal di satu wilayah yang
di dalamnya tidak ada Ali bin Abi Thalib.’” Lihat, Ila al-Syara’i,
Bab CLXI, hadis ke-8, hal. 246.
[18] Ushul al-Kafi,
juz 2, Bab “Keutamaan Al-Quran”, topik yang berkenaan dengan keberadaan
rumah-rumah yang di dalamnya senantiasa dibacakan al-Quran, hadis ke-3.
[19] Ad-Dilmy, Irsyad al-Qulub, Bab
XIV, hadis ke-2.
[20] Ushul al-Kafi,
juz 2, Bab “Keutamaan Al-Quran”, hadis ke-1.
[21] Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-127.
[22] Wasail al-Syi’ah, juz 5, hal.377.
[23] Ushul al-Kafi,
juz 2, Bab “Keutamaan al-Quran”, hadis ke-1.
[24] Wasail al-Syi’ah, juz 12, hal. 24.
[25] Bihar al-Anwar,
juz 41, hal. 39, dan juz 42, hal. 71; Furu al-Kafi, juz 7, hal. 54; Wasail
al-Syi’ah, juz 13; dan al-Waqf, Bab VI, hadis ke-2.