RAHASIA
PENGABULAN DOA
Oleh: Ayatullah Jawadi Amuli
Penerjemah: Jawad Muammar
Keutamaan malam lailatul qadar juga dimiliki siang
hari. Kemungkinan jatuhnya malam lailatul qadar terjadi pada malam
kesembilan belas dari bulan Ramadhan, yang bertepatan dengan syahidnya Imam Ali
as.
Ketika Imam Ali as ditanya: “Berapa
jarak antara langit dan bumi?” Imam as menjawab: “Sepanjang mata
memandang dan doanya orang-orang yang dizalimi.”[1]
Terdapat dua pengukur jarak antara langit dan bumi; pertama, pandangan mata,
dan yang kedua, doa yang dipanjatkan orang yang dizalimi. Dengan begitu, jarak
antara bumi dan langit sejauh kemampuan pandangan seseorang. Dengan kata lain,
batas terjauh pandangan mata Anda ke langit tergantung pada kemampuan mata
Anda. Pandangan ke langit yang dimaksud pernyataan di atas bersifat lahiriah.
Adapun maksud dari pernyataan bahwa doa yang dipanjatkan orang yang dizalimi
merupakan jarak antara langit dan bumi, berkaitan dengan rahasia serta aspek
batin dari sesuatu yang terdapat di langit.
Sebagaimana kita ketahui bersama, segala
sesuatu memiliki aspek lahiriah maupun batiniah. Begitu pula dengan keberadaan
langit yang memiliki dua aspek; lahiriah maupun batiniah. Jarak lahiriah antara
langit dan bumi adalah sejauh mata memandang. Mata seseorang bisa menembus ufuk
dari langit ini. Namun, jarak yang membentang antara langit dan bumi juga
memiliki aspek batin yang hanya dapat ditembus oleh perbuatan hati, bukan mata.
Jarak antara langit dan bumi bisa ditembus oleh doa yang dipanjatkan orang yang
dizalimi. Keluhan yang disampaikannya mampu mencapai batin langit serta segenap
rahasianya.
Pengertian langit secara lahiriah
terdiri dari bintang gemintang, matahari, dan rembulan. Sementara aspek batin
darinya terdiri dari para malaikat yang sesungguhnya merupakan cahaya alam
gaib. Di alam lahiriah, terdapat bintang-bintang yang memancarkan cahaya
lahiriah, sementara di langit batin, para malaikatlah yang memancarkan cahaya,
tentunya yang bersifat spiritual. Al-Quran berfirman: “Sesungguhnya
pintu-pintu langit terbuka untuk semuanya, tetapi pintu-pintu ini tidak terbuka
untuk orang-orang kafir dan orang-orang munafik, sekali-kali tidak akan
dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit.”(al-A’raf: 40)
Aparat penanggung jawab kehidupan di
langit adalah para malaikat. Allah Swt berfirman: “Dia mewahyukan pada
tiap-tiap langit urusannya.” (Fushshilat: 12) Setiap lapisan langit
memiliki urusan yang khusus, dan Allah memerintahkan malaikat melalui wahyu
untuk bertanggung jawab terhadapnya.
Keberadaan langit memiliki aspek
lahiriah yang memancarkan cahaya, yang juga bersifat lahiriah. Imam Ali as
telah memotivasi kita ketika menjawab orang yang bertanya tentang berapa jarak
antara bumi dan langit, baik dalam kategori lahiriah maupun batiniah yang
merupakan rahasia keberadaan langit. Dalam hal ini, beliau berkata: “Sejauh
mata memandang dan doanya orang yang dizalimi.”
Apabila seseorang menginginkan doa yang
dipanjatkannya diterima dan mencapai realitas batin dari langit, ia harus
memutuskan seluruh angan-angan dan hubungannya dengan selain Allah Swt. Doa
seorang mukmin yang muwahhid pasti akan diterima Allah sesuai dengan
batas ketauhidannya. Demikian pula halnya dengan doa yang dipanjatkan orang
yang tidak memiliki kepercayaan kecuali kepada Allah Swt.
Doa dari orang yang dizalimi dan tidak
menunggu pertolongan dari siapapun kecuali Allah Swt, pasti akan diterima.
Dalam hal ini, terdapat dua kategori orang yang dizalimi. Pertama, orang
yang dizalimi dan menunggu pertolongan orang lain, baik dari kerabat dan
temannya maupun berdasarkan pada kedudukannya. Dengan demikian, ia akan
menunggu pertolongan dari orang-orang terhadap kezaliman yang menimpanya. Orang
seperti ini tidak bisa dikategorikan sebagai muwahhid.
Kedua,
orang yang dizalimi, yang tidak bisa menghindar darinya, namun tidak
mengharapkan pertolongan siapapun dan tidak menyandarkan dirinya kepada apapun
kecuali kepada Allah Swt. Orang seperti ini akan menghadap Allah dengan sepenuh
hati dan akan taat bulat-bulat kepada-Nya. Ia adalah seorang muwahhid
yang akan ikhlas dalam berdoa. Dengan demikian, doa yang dipanjatkannya pasti
akan diterima. Dikarenakan itulah, Imam Ali as berkata: “Jarak antara bumi
dan langit adalah doanya orang yang dizalimi.”
Imam Sajjad as meriwayatkan dan ayahnya,
Imam Husain as, yang menyatakan dalam wasiat terakhirnya: “Hati-hatilah
engkau (jangan sampai) menzalimi orang yang tidak memiliki penolong kecuali
Allah Swt.”[2]
Imam Sajjad as juga menyampaikan hal itu
dalam wasiat terakhirnya kepada Imam Baqir as, yang berkata: “Ayahku
(Imam Sajjad as, ―peny.) memanggilku di saat terakhir hidupnya dan
berkata: ‘Aku berwasiat kepadamu sama dengan yang diwasiatkan kepadaku.’”
Dikatakan Sayyid al-Syuhada
(penghulu para syuhada), bahwa kedati setiap bagian dari kezaliman itu buruk,
namun menzalimi orang yang tidak memiliki penolong kecuali Allah Swt lebih
buruk lagi. Itu dikarenakan doa yang dipanjatkannya pasti diterima dan
keluhannya pasti terdengar Allah Swt. Apabila kita mendoakan para pejuang Islam
demi meraih kemenangan sesuai dengan cara berdoanya orang-orang muwahhid
(orang yang bertauhid), maka doa kita pasti diterima.
Manusia harus memanjatkan doa yang mampu
mencapai tempat dikeluarkannya perintah-perintah Ilahi, yakni arsy Allah
Swt. Arsy merupakan kedudukan dari pemilik hari pembalasan duma dan
akhirat, kedudukan yang menjadikan seluruh alam tunduk kepada-Nya. Inilah
kedudukan yang disebut dengan arsy. Dan dikatakan bahwa sebagian kalbu
insan merupakan arsy Allah, atau dengan kata lain memiliki hubungan yang
eksklusif dengan arsy Allah.
Seseorang bertanya kepada Imam Shadiq: “Kenapa
Ka’bah dinamakan Ka’bah?” Imam menjawab: “Karena memiliki empat dinding.”
Ia kembali bertanya: “Mengapa memiliki empat dinding?” Imam menjawab: “Karena
Bait Makmur (nama tempat) di langit memiliki empat dinding.” Ia bertanya
lagi: “Kenapa ada empat dinding?” Imam menjawab: “Karena arsy
Allah memiliki empat sisi.” Ia bertanya: “Kenapa ada empat sisi?”
Imam menjawab: “Karena kalimat tauhid ada empat, Subhanallah,
Walhamdulillah, Wala Ilaha Illallah, Wallahu Akbar. Asma’ al-husna bagi
Allah kembali kepada empat kalimat tauhid, dari tasbih, tahmid, tahlil, dan
takbir yang semuanya bermuara pada pengesaan Allah, keagungan -Nya,
kesombongan-Nya, yang semua itu adalah Subbubun Quddus.” Manusia menyucikan
Allah Swt dengan kalimat-kalimat tersebut.
Sebagian orang berkunjung ke Makkah
untuk menziarahi empat dinding tersebut dan secara lahiriah mereka telah
menunaikan ibadah haji. Di antaranya, terdapat sejumlah orang yang hanya
memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan Bait Makmur. Sejumlah lainnya
memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan arsy Allah. Dan sejumlah
lainnya, memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan kalimat-kalimat sempurna
ini. Orang-orang yang terakhir disebutkan adalah orang-orang yang telah
mengetahui rahasia haji. Tidak semua orang yang melakukan tawaf di
Ka’bah telah mencapai makna-makna semacam ini.[3]
Demikianlah jawaban Imam, bahwasannya
Kabah dibangun berdasarkan Bait Makmur, arsy-nya Allah, serta
kalimat-kalimat penyucian yang terdiri dari tauhid, tahmid, takbir, dan tasbih
Allah Swt.
Pada hari kiamat kelak, tak ada
keburukan yang melebihi perbuatan syirik. Apabila kita mampu lolos dari
sergapan kesyirikan, maka kita memiliki harapan untuk meraih kesuksesan. Banyak
di antara kita yang hatinya telah dirembesi dan menyimpan kesyirikan, tanpa
mengetahui cara untuk mengenalnya, apalagi mengobatinya.
Kita acapkali menunaikan ibadah hanya
berdasarkan pada kebiasaan belaka. Apakah dalam setiap pekerjaan, kita telah
memutuskan pengutamaan kepada selain Allah? Ataukah kita semata-mata tidak
meyakini pekerjaan atau diri kita sendiri? Mengapa di akhir surat Yusuf, Allah
berfirman: “Dan sebahagian dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan
dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan selain-Nya).”(Yusuf:
106)
Ketika ditanya tentang makna ayat ini,
Imam berkata: “Rahasianya adalah ketika manusia berkata seandainya tak ada
fulan, maka ini tidak mungkin terjadi.” Dalam istilah yang umum, dikatakan
bahwa Allah-lah yang pertama dan fulan yang kedua. Orang yang berbuat atau
berbicara semacam ini bukanlah seorang muwahid, karena Allah berfirman:
“Dialah yang awal dan yang akhir; yang dhahir dan yang bathin.”
(al-Hadid: 3) Imam kemudian ditanya, kalau begitu bagaimana kita berbicara dan
bagaimana mengistilahkannya? Imam menjawab: “Katakanlah, Allah Swt menolong
kita.”
Dalam setiap hal, lihatlah selalu kepada
pelaku yang hakiki. Allah Swt akan nampak dalam setiap pekerjaan, karena Dia
adalah yang dhahir. Janganlah memberi tempat kepada selain-Nya. Terlebih
dahulu, kita harus menyucikan dan membersihkan hati kita. Setelah itu, baru
kita berdoa dan memohon kepada-Nya.
Imam Shadiq berkata: “Jika kalian
ingin doa kalian diterima, maka putuskanlah harapan kepada selain Allah,
putuskanlah agar hati kalian tidak hersandar kepada kekuatan manapun selain
kekuatan Allah Swt, setelah itu mintalah kepada Tuhan kalian, maka ia pasti
mengabulkannya.”
Alkisah, ada dua orang yang ingin pergi
ke Makkah dan Madinah. Untuk itu, mereka pun ikut serta dalam rombongan kafilah
yang akan pergi haji. Seketika itu, seseorang yang diperkirakan sebagai
pemimpin rombongan mendatangi kedua orang tersebut dan berkata: “Kelihatannya
kalian berdua orang Irak?” Mereka berdua menjawab: “Ya, kami adalah
penduduk Kufah.” Ia kembali berkata: “Dari suku mana?” Mereka
menjawab: “Kinanah.” Kemudian keduanya menjelaskan siapa diri mereka. Setelah
itu, pemimpin rombongan menyambut keduanya dengan ramah. Lantas, keduanya balik
bertanya: “Siapakah Anda?” Ia menjawab: “Aku adalah Sa'ad bin Abi
Waqas.”
Kemudian ia berkata kepada keduanya: “Aku
telah mendengar empat kalimat tentang Ali bin Abi Thalib, yang seandainya satu
dari empat kalimat itu keluar tentang aku, maka ia lebih baik daripada dunia
dan segala isinya walaupun dunia itu taat dengan perintahku dan aku memiliki
umur seperti umurnya nabi Nuh tidaklah lebih aku cintai dari pada satu kalimat
yang seandainya keluar tentangku dari kalimat-kalimat yang keluar tentang Ali
bin Abi Thalib.” Mereka berdua kemudian bertanya: “Apakah isi
kalimat-kalimat tersebut?”
Sa’ad menjawab: “Yang pertama adalah
ketika turun surat Taubah yang mengumumkan tentang bara’ah (berlepas tangannya)
kaum muslimin dari orang-orang kafir, maka Nabi memberikan surat ini kepada Abu
Bakar untuk disampaikan kepada penduduk Makkah dan ketika Abu Bakar berjalan
beberapa lama, Nabi mengutus di belakangnya Ali bin Abi Thalib seraya berkata:
‘Ambillah surat itu darinya agar aku dapat mengirimkan kepada orang yang lebih
berhak untuk menjalankan, tugas ini.’ Imam Ali pergi dan mengambil sural
Bara’ah dari Abu Bakar dan membawanya kepada Nabi. Para sahabat bertanya:
‘Kenapa bukan Abu bakar yang menyampaikan surat ini kepada penduduk Makah?’
Rasul menjawab: ‘Malaikat Jibril datang kepadaku dari Allah Swt dan mengatakan
bahwa tak ada yang bisa melakanakan tugas itu kecuali engkau atau seseorang
dari bagianmu.”[4] “Dan
Ali adalah bagianku dan aku adalah bagian dari Ali.”[5]
Maka hanya Ali-lah yang bisa menyampaikan surat ini dariku (maksudnya, Nabi
saw, ―peny.) untuk orang-orang musyrik.
Makna pernyataan ini sama dengan yang
ditujukan pada Imam Husain, ketika Nabi bersabda: “Husain adalah bagianku dan
aku adalah bagian darinya.”
Abu Abdilah bin Jafar berkata kepada
ayahnya Imam Shadiq: “Aku dan saudaraku Musa adalah sama. Ayah dan kakek
kami satu[6],
bukankah asalku dan asalnya satu dan ayahku dan ayahnya satu? Kenapa saudaraku
Musa mencintai kedudukan ini? Ayah kami dan kakek kami satu?” Imam Shadiq
kemudian menjawab pertanyaan anaknya tersebut: “Engkau adalah anakku
sedangkan ia adalah jiwaku. Ada perbedaan antara engkau dan saudaramu, engkau
adalah anakku dan saudaramu adalah dari ruhku, darimu nampak pengaruh dari
badanku dan dari saudaramu nampak pengaruh dari ruhku, maka janganlah engkau
katakan saya putra Imam Shadiq, karena kata ‘putra’ memiliki arti tertentu, dan
kata ‘warisan kedudukan’ memiliki artiyang lain.”
Kesimpulannya, makna pernyataan yang
disebutkan Rasulullah tentang Imam Husain bin Ali: “Husain adalah bagian
dariku dan aku bagian dari Husain,” sama dengan makna pernyataan yang
berkenaan dengan Imam Ali: “Ali adalah bagian dariku dan aku bagian dari Ali.”
Keutamaan kedua yang disebutkan Sa'ad
bin Abi Waqas adalah sebagai berikut: “Kami semuanya sedang berada di masjid
Madinah yang tidak beratap dan rumah-rumah yang berdampingan dengan masjid
memiliki pintu yang langsung menyatu dengan masjid sehingga para penghuninya
bisa tidur di dalam masjid. Pada suatu malam, datanglah perintah agar kami
semuanya keluar dari masjid, kecuali keluarga Rasul dan keluarga Ali. Mereka
semua memiliki hak untuk tetap tinggal di situ.
Kami semua keluar dari masjid dan pagi
harinya, paman Nabi, Hamzah ―semoga Allah meridhainya― datang dan
berkata: “Wahai Rasulullah, engkau mengeluarkan kami dan engkau tempatkan
anak ini (maksudnya Ali bin Abi Thalib)[7],
sedangkan kami adalah pamanmu dan dari keluarga besarmu.” Rasul berkata: “Bukan
aku yang mengeluarkan Anda dari masjid dan bukan aku yang memperbolehkannya
untuk tetap tinggal, tetapi Allah-lah yang memerintahkannya.”
Ali bin Abi Thalib memiliki hak untuk
tetap tinggal di dalam masjid dan mengunakan pintu rumahnya yang bisa
menghantarkannya ke dalam masjid. Kedudukan macam apakah ini? Ketika Sayyidah
Maryam hendak melahirkan, turunlah perintah agar dirinya keluar dari rumah
Allah[8]
yang merupakan tempat suci tersebut. Namun Allah Swt tidak memerintahkan
Fatimah binti Asad, ibunda Amirul Mukminin, untuk keluar dari Ka’bah saat
melahirkan. Hal ini tidak pernah terjadi selain kepada Amirul mukminin as.
Dalam doa Nudbah dikatakan:
“Seluruh pintu ditutup kecuali pintu rumahnya,” seluruh pintu yang berdampingan
dengan masjid ditutup kecuali pintu rumah Amirul M ukminin Ali, dan di sinilah
letak rahasianya.
Keutamaan ketiga yang melekat pada diri
Ali bin Abi Thalib, yang tidak dimiliki selainya adalah kejadian mendobrak
pintu Khaibar. Suatu saat, Rasul mengirim sebagian sahabatnya untuk membongkar
pintu Khaibar, namun mereka tidak sanggup melakukannya. Melihat itu Nabi pun
marah dan bersabda: “Besok aku akan memberikan bendera kepada seorang
laki-laki yang Allah dan Rasulnya mencintainya dan ia pun mencintai Allah dan
Rasulnya, berani dan tidak takut akan peperangan dan kematian.”[9]
Dialah seorang laki-laki pemberani yang
tidak pernah kecut hatinya oleh peperangan dan kematian. Ali berkata: “Aku
tidak perduli, aku mati atau aku dibunuh.”[10]
Beliau tidak pernah lari dari medan peperangan. Baju besi Amirul mukminin hanya
menutupi sebatas dadanya saja, sementara punggung beliau terbuka dan tidak
tertutup baju besi. Beliau berkata: “Aku tidak perlu menutupi punggungku
dengan baju besi atau baju perang, karena aku tidak membelakangi musuh sehingga
ia menyerangku dari belakang.”[11]
Ini merupakan ucapan-ucapan Imam Ali yang sangat bernilai. Berkenaan dengan
peperangan, Imam Ali berkata: “Janganlah kalian mengunakan perasaan.”
Dalam salah satu peperangan, sebagian
prajurit tertawan oleh musuh. Kemudian sejumlah sahabat berkata kepada Imam
Ali: “Berikanlah kami ijin agar kami dapat mengambil harta di baitul mal
sehingga kami bisa membebaskan tawanan-tawanan dari tangan musuh.” Imam
berkata: “Membebaskan tawanan itu sendiri adalah pekerjaan yang baik, tetapi
jika kalian ingin membebaskan mereka, maka pertama-tama lihatlah kepada
orang-orang yang terluka dan tebuslah mereka.[12]
Orang yang mengangkat tangannya, menyerahkan dirinya, dan dibadannya tidak
terdapat luka, ia telah kehilangan keberaniannya. Namun orang-orang yang
terlukalah yang pantas untuk dibebaskan dari tahanan, karena mereka berperang
sampai detik-detik kejatuhannya ke tangan musuh. Adapun tawanan-tawanan yang
pungung-pungung mereka terluka, itu merupakan bukti bahwa mereka terluka dan
kalah.”
Orang yang meninggalkan medan perang,
sedikitpun tidak bermanfaat bagi kita. Ia tidak mengenal makna syahadah dan
menyangka bahwa kematian merupakan kefanaan, sementara pula meyakini bahwa
kehidupan dlinia lebih baik baginya. Ia tidak mengerti bahwa: “Kematian
tidak lain kecuali jembatan yang akan kita lalui.”[13]
Alangkah indahnya bait-bait kalimat yang
diungkapkan Imam Husain: “kematian merupakan jembatan yang di satu sisinya
adalah dunia dan di sisi lainya adalah surga.” Jembatan ini dapat
menghantarkan kalian menuju surga.
Imam memerintahkan: “Janganlah kalian
membebaskan tawanan yang terluka dari belakang dan kalian jangan keluarkan
harta baginya dari Baitul Mal, karena ia kalah dan meninggalkan medan perang
dan kita tidak menyukai orang seperti ini, ia berkeyakinan bahwa kehidupan lebih
baik daripada agama dan ia tidak memahami bahwa syahadah adalah surga dan di
sinilah letak kebahagiaan.” Itulah sebabnya Rasul berkata tentang Imam Ali:
“pemberani yang tidak takut sehingga Allah melalui tangannya memenangkannya,
ia tidak akan pulang tanpa kemenangan dan membuka pintu Khaibar.”
Dalam surat yang ditujukan kepada Sabat
bin Ranif al-Anshari, Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Aku tidak
mencabut pintu Khaibar dengan kekuatan fisik atau kekuatan makanan tetapi
dengan kekuatan malakut, jiwa dan dengan cahaya Allah yang menerangi.”[14]
Kemampuan untuk mencabut pintu Khaibar bukanlah berasal dari makanan dan
kekuatan fisik, tetapi dari kekuatan malakut yang diberikan Allah Swt.
Seluruh sahabat ingin mengetahui,
siapakah yang dimaksud Rasul saww dengan ucapan dan sebutan ini. Pada suatu
pagi, Rasul berkata: “Bawalah Ali bin Abi Thalib ke hadapanku.” Imam Ali
datang menemui Rasul dalam keadaan sakit mata. Segera saja Rasul meletakan
sedikit air ludahnya ke mata Imam Ali. Tak lama kemudian, mata beliau pun
sembuh. Setelah itu, Rasul menyerahkan bendera kepada Imam Ali, yang kemudian
pergi ke medan perang dan pulang dengan membawa kemenangan.
Keutamaan keempat yang dikatakan Saad
bin Abi Waqas adalah: “Dalam perang Tabuk, tatkala Rasul pergi ke medan perang
dan meningggalkan Imam Ali di Madinah sebagai khalifahnya untuk menjaga kota
tersebut dari sergapan para musuh, sebagian orang malah memanfaatkan kesempatan
ini dan menganggapnya sebagai titik lemah keberadaan beliau. Mereka mengklaim
bahwa (dengan ketidaksertaannya dalam peperangan Tabuk, ―peny.) Imam Ali
hanya ingin menjaga keselamatan dirinya. Mereka menyatakan bahwa Rasul tidak
ingin Imam Ali ikut berpartisipasi dalam peperangan tersebut.
Ketika Imam Ali mendengar semua itu,
beliau segera menemui Rasul dan berkata: “Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Setelah mengatakan itu, Imam Ali pun menangis. Kemudian, Rasul bertanya kepada
beliau: “Mengapa engkau datang ke sini?” Imam menjawab: “Orang-orang
Qurais berkata: ‘Rasulullah tidak mengajak Ali bersamanya, karena beliau
tidak suka Ali berpartisipasi dalam peperangan.’” Rasul mengatakan:
“Kumpulkan semua
orang.” Maka, dipanggil dan dikumpulkanlah orang- orang tersebut. Setelah
itu, Rasul bersabda: “Wahai sekalian manusia, apakah kalian memiliki keluarga
yang khusus, Ali bin Abi Thalib adalah keluarga khususku dan orang yang aku
cintai dari lubuk hatiku.”[15]
Kemudian, Rasul menoleh ke arah Ali bin
abi Thalib dan berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak ridha, engkau bagiku
seperti kedudukan Nahi Harun dengan Nahi Musa, kecuali karena tidak ada lagi
nabi setelahku, engkau wahai Ali adalah menteri dan Khalifahku, perhedaan
antara aku dengan Nahi Musa adalah setelah Nabi Musa, ada nabi yang lain.
Adapun setelahku tidak ada lagi nabi.”[16]
Mendengar itu, Imam Ali lantas berkata: “Aku ridha kepada Allah dan
Rasul-Nya.”
Ketika mengucapkan salam kepada Imam
Mahdi as, kita mengatakan: “Salam bagimu, wahai sekutu al-Quran.” Kata
ini berasal dari hadis dan bersandarkan pada al-Quran. Kata syarik yang
merupakan bahasa arab, memiliki arti 'potongan kecil dari tali yang diikatkan
ke daun pintu'. Kedudukan Imamah dan hakikat al-Quran merupakan dua buah pusaka
yang sekaligus menjadi beban yang sangat berat. Dalam hal ini, Imam telah
mengikatkan al-Quran dengan Imamah, begitupula sebaliknya, Imamah mengikat
al-Quran. Dengan demikian, Imam menjadi syarik.
Dalam al-Quran disebutkan bahwa Nabi
Musa berbicara dengan Allah, dengan mengatakan: “Ilahi, engkau letakkan di
atas punggungku beban yang sangat berat, yaitu memerangi Fir’aun dan agar aku
sukses dalam pekerjaan ini, maka saudaraku Harun, aku bawa sebagai sekutuku.”
Rasul berkata kepada Imam: “Engkau
bagiku seperti Harun dengan Nabi Musa, sebagaimana Harun adalah sekutu Musa,
maka engkau adalah sekutuku dalam risalah.” Dikarenakan risalah serta
metode Rasul tak lain dari al-Quran itu sendiri, dan akhlaknya juga bersumber
dari Al-Quran, orang yang menjadi sekutu Rasul juga akan menjadi sekutu
al-Quran. Orang tersebut ibarat tali yang mengikat Imamah dengan hakikat wahyu.
Karena itu, kita mengucapkan di hadapan Imam rnaksum: “Engkau adalah sekutu
al-Quran.” Baik Imam Shohibuz zaman, ataupun para imam lainnya, secara
keseluruhan merupakan sekutu al-Quran.
Imam Ali berkata: “Aku adalah
al-Quran yang berbicara.”[17]
Al-Quran tidak berbicara dengan kalian, tapi aku akan memberitahukan
kepada kalian tentang berita-berita dalam al-Quran. Dengan begitu, beliau
merupakan sekutu al-Quran.
Kita harus memandang Imam Ali
berdasarkan pandangan yang agung dan mengenalnya dengan pengenalan yang
seksama. Keempat bait kalimat yang indah ini memiliki pengaruh sebagaimana
diungkapkan Sa’ad bin Abi Waqash: “Aku akan mengatakan kalimat yang kelima:
Nabi bersabda dalam haji wada (perpisahan) ketika sampai di Ghadir Khum:
‘Barangsiapa yang menjadikan aku pemimpin, maka Ali adalah pemimpinnya,
ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya, musuhilah orang yang memusuhinya,
bantulah orang yang membantunya. dan tinggalkanlah orang yang meninggalkannya.’”[18]
Rasul tidak mengatakan bahwa Ali
(maksudnya nama seseorang, ―peny.) adalah pemimpinnya. Sebab, besar
kemungkinan orang-orang akan mengatakan bahwa banyak orang yang bernama Ali di
dunia ini, termasuk dan di kota Madinah. Namun Rasul mengatakan: ‘Dengan ini,
Ali (yang inilah, maksudnya sepupu Rasul sekaligus suami Sayyidah Fathimah, ―peny.)
adalah pemimpinnya. Tuhanku, setiap orang yang masuk di bawah payung wilayah
Ali, masukkanlah ke dalam wilayah-Mu dan setiap orang yang memusuhinya,
musuhilah dia. Tuhanku, setiap orang yang menolong Ali, berilah pertolongan,
dan setiap orang yang meninggalkan Ali, tinggalkanlah!
Sumber: Rahasia-Rahasia Ibadah; Ayatullah Jawadi Amuli; Penerbit Cahaya, Bogor,
Indonesia; Cetakan ke-1; Juni 2001 M.
[2] Safinah al-Bihar, Bab “Washa”, juz 2, hal. 462; Ushul al-Kafi, Bab
“Keazliman”, juz 2, hadis ke-5.
[6] Ad-Dilmy, Irsyad al-Qulub, hal.
296; Kamil al-Ziyarat, hal. 3; Mustadrak al-Hakim, juz 3, hal. 177; Ibnu
Asakair, al-Tahzib, juz 4, hal. 314; Ibnu Hajar, Majma’ az-Zawaid,
juz 9, hal. 181; al-Muhriqah, as-Sawaiq, hal. 115, Kanzu al-Ummal,
juz 7, hal. 107.
[9] Al-Kafi,
Bab “Kelahiran Ali”, juz 1, hal. 453; Raudah al-Wajdzin; Sayyid Abdullah
Syubbar, Jala al-Uyun, juz 1, hal. 248.
[12] Wasail al-Syi’ah, juz 11, Bab XXVIII tentang “Jihad terhadap Musuh”, hal. 65,
hadis ke-3; Mustadrak al-Wasail, juz 2, hal. 255.
[13] Ma’ani al-Akbar,
Bab “Makna Kematian”, hal. 288; Fa’db al-Kasyany, Umu al-Yaqin, juz 2,
hal. 864.
[15] Ad-Dilmy, Irsyad al-Qulub; Qhazwah
Khaibar, hal. 245; Khulu al-Ain, hal. 157; Syaikh al-Mufid, al-Irsyad,
hal. 40.
[17]
Imam Ali berkata: “Itu adalah al-Quran, maka ajaklah ia
berbicara dan ia tidak akan berbicara, tetapi aku akan memberitakan kepada
kalian tentangnya, Ketahuilah bahwa di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan
yang akan datang dan yang telah berlalu,. obat bagi penyakit kalian dan menjadi
pengatur di antara kalian.” Lihat, Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-158.
No comments:
Post a Comment